Judul buku: Paper Town
Jumlah halaman: 360 halaman
Penulis: John Green
Tahun terbit: September 2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13:
9786020308586
Sebagai manusia
biasa, wajar saja bagi kita mempercayai keajaiban. Dan dalam beberapa cara,
keajaiban sungguh benar terjadi, setidaknya begitu menurut Quentin Jacobsen
yang selama satu dekade lebih menganggap tetangga depan rumahnya, Margo Roth
Siegelmen, sebagai satu dari keajaiban yang mungkin terjadi dalam hidupnya.
Petualangan
pertama dimulai saat mereka berusia 9 tahun dimana mereka menemukan sosok mayat
bersandar di bawah pohon ek besar di tepi danau taman Jeferson Park, Orlando.
Sejak saat itulah Margo menyukai misteri, petualangan, dan hal-hal semacam itu,
pikir Quentin yang biasa disapa Q. Tapi tidak bagi Margo, maka sejak itu pula
jarak pemisah mulai terbangun. Mereka tidak lagi bersepeda bersama,
berpetualang bersama, pun bahkan sekadar ngobrol bersama. Margo tumbuh dengan
ribuan kasus yang semakin menjadikan dirinya sebuah misteri, sedang Q tumbuh
dengan baik sebagaimana remaja normal lainnya yang mengikuti jalan yang lurus
untuk menjadi seorang dewasa normal pada umumnya: sekolah, kuliah, pekerjaan
yang mapan, lalu membentuk keluarga agar bahagia, dan semacamnya.
Rentang antara
Q dan Margo nampaknya tidak sejauh yang ada di benak Q sejak saat suatu malam
di tahun senior mereka, tiba-tiba Margo memanjat jendela kamar Q menawarkan
satu petualangan tak terlupakan yang melengkapi warna-warni kehidupan remaja Q
yang terlalu datar: rencana balas dendam kepada sahabat dan mantan pacar Margo
yang mengkhianatinya.
Malam yang
panjang pun dilalui. Dan sebagaimana takdir setiap malam,seberapa panjang pun
ia pasti akan berakhir seiring mentari datang tepat pada pukulnya. Q sepenuhnya
salah bila berharap sesuatu yang lebih dari malam itu. Terpilihnya Q sebagai
partner balas dendam Margo adalah karena Q juga partner petualangan pertamanya
satu dekade lalu. Margo ingin menjadikan Q sebagai yang pertama dan terakhir,
dan semua itu telah direncanakannya dalam buku catatan petualangan Margo yang
ditulisnya secaramenyilang. Tidak ditemukannya Margo di sekolah pagi itu, dan
besok, lalu besoknya besok, hingga seterusnya semakin memperjelas kenyataan
bahwa Margo Roth Spiegelmen menghilang. Sayangnya pihak kepolisian sama sekali
tidak menganggap serius kasus ini sebab di seluruh negara bagian Amerika, usia
18 tahun adalah saat kau telah boleh terbebas dari belenggu orangtua, sama
sekali tidak dianggap kasus orang hilang.
Sebagai remaja
yang tak kuper-kuper amat, Q tentu punya sahabat. Adalah Ben dan Radar yang
selalu menemani dan membantunya menguak beberapa petunjuk yang nampaknya
sengaja ditinggalkan untuk Q, satu dari ciri khas Margo. Sedikit demi sedikit
petunjuk mulai terbaca. Puncaknya, mereka bertiga bersama Lacey sahabat Margo
memutuskan pengadakan perjalanan jauh menuju Agloe, sebuah desa kecil di
pinggiran kota New York. Sebuah olah pikir yang panjang yang menuntun mereka ke
Kota Kertas dalam peta yang dahulu sering digunakan para pembuat peta untuk
mencegah penjiplakan hak cipta.
Perjalanan itu
benar-benar seperti bukan diri Q. Sebelumnya ia tak pernah mengelabui
orangtuanya, ia tak pernah bolos sekolah, ia tak pernah begitu jauh dari
Orlando, dan ia tak pernah bertindak sejauh ini. Saat remaja lain melakukan hal
gila untuk terakhir kali di masa high
school, Q melakukannya untuk pertama kali. Dan itu terjadi berkat Margo.
Makin banyak misteri terurai, makin besar pula tekad dan keberanian Q untuk
menemui Margo, untuk melawan rasa takutnya, untuk menemukan dan memastikan
bahwa Margo belum mati, untuk menjelaskan perasaannya padanya. Ya, Margo memang
selalu ingin Q menjadi pemberani.
Tak ada hal
lain lagi yang lebih melegakan bagi Q, Ben, Lacey, dan Radar dalam perjalanan
darat 21 jam terakhir selain untuk segera bertemu Margo. Dan omong-omong,
mengapa Agloe? Entahlah. Mungkin Agloe tempat yang ‘sempurna’ bagi Margo yang
retak untuk memulihkan diri, atau kota yang sempurna untuk menyambung kembali
‘senar’ yang putus, atau bisa jadi karena Agloe hanyalah sebuah lembaran dua
dimensi yang berarti. Kota kertas untuk gadis kertas ala Margo. Dan tepat di
sanalah mereka menemukannya.
Bagaimanapun Q
mencintai Margo, dan bila pun Margo juga merasakan sesuatu terhadap Q, Q tetap
bukanlah Margo, dan Margo bukanlah Q. Penguburan catatan petualangan Margo yang
mulai ditulisnya sejak mereka menemukan mayat Robert Joyner di taman itu adalah
manuver terakhir bagi hubungan panjang dan bersejarah mereka. Satu ciuman
selamat tinggal melengkapi segalanya. Ini bukan tentang kisah cinta yang tak
bisa bersatu karena perbedaan. Namun Q
berharap telah menyelesaikan tugas dengan benar, telah melakukan hal yang benar
dengan tidak mengikuti Margo. Butuh waktu yang lama bagi Quentin Jacobsen untuk
menyadari betapa berbahayanya menganggap seseorang lebih daripada seseorang itu
sendiri.Margo bukanlah keajaiban, bukan pula petualangan.
Ia hanya seorang gadis. [HJ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar