Pages

Rabu, 02 Maret 2016

Q dan Petualangannya Menemukan Margo




Judul buku: Paper Town
Jumlah halaman: 360 halaman
Penulis: John Green
Tahun terbit: September  2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020308586



Sebagai manusia biasa, wajar saja bagi kita mempercayai keajaiban. Dan dalam beberapa cara, keajaiban sungguh benar terjadi, setidaknya begitu menurut Quentin Jacobsen yang selama satu dekade lebih menganggap tetangga depan rumahnya, Margo Roth Siegelmen, sebagai satu dari keajaiban yang mungkin terjadi dalam hidupnya.
Petualangan pertama dimulai saat mereka berusia 9 tahun dimana mereka menemukan sosok mayat bersandar di bawah pohon ek besar di tepi danau taman Jeferson Park, Orlando. Sejak saat itulah Margo menyukai misteri, petualangan, dan hal-hal semacam itu, pikir Quentin yang biasa disapa Q. Tapi tidak bagi Margo, maka sejak itu pula jarak pemisah mulai terbangun. Mereka tidak lagi bersepeda bersama, berpetualang bersama, pun bahkan sekadar ngobrol bersama. Margo tumbuh dengan ribuan kasus yang semakin menjadikan dirinya sebuah misteri, sedang Q tumbuh dengan baik sebagaimana remaja normal lainnya yang mengikuti jalan yang lurus untuk menjadi seorang dewasa normal pada umumnya: sekolah, kuliah, pekerjaan yang mapan, lalu membentuk keluarga agar bahagia, dan semacamnya.
Rentang antara Q dan Margo nampaknya tidak sejauh yang ada di benak Q sejak saat suatu malam di tahun senior mereka, tiba-tiba Margo memanjat jendela kamar Q menawarkan satu petualangan tak terlupakan yang melengkapi warna-warni kehidupan remaja Q yang terlalu datar: rencana balas dendam kepada sahabat dan mantan pacar Margo yang mengkhianatinya.
Malam yang panjang pun dilalui. Dan sebagaimana takdir setiap malam,seberapa panjang pun ia pasti akan berakhir seiring mentari datang tepat pada pukulnya. Q sepenuhnya salah bila berharap sesuatu yang lebih dari malam itu. Terpilihnya Q sebagai partner balas dendam Margo adalah karena Q juga partner petualangan pertamanya satu dekade lalu. Margo ingin menjadikan Q sebagai yang pertama dan terakhir, dan semua itu telah direncanakannya dalam buku catatan petualangan Margo yang ditulisnya secaramenyilang. Tidak ditemukannya Margo di sekolah pagi itu, dan besok, lalu besoknya besok, hingga seterusnya semakin memperjelas kenyataan bahwa Margo Roth Spiegelmen menghilang. Sayangnya pihak kepolisian sama sekali tidak menganggap serius kasus ini sebab di seluruh negara bagian Amerika, usia 18 tahun adalah saat kau telah boleh terbebas dari belenggu orangtua, sama sekali tidak dianggap kasus orang hilang.
Sebagai remaja yang tak kuper-kuper amat, Q tentu punya sahabat. Adalah Ben dan Radar yang selalu menemani dan membantunya menguak beberapa petunjuk yang nampaknya sengaja ditinggalkan untuk Q, satu dari ciri khas Margo. Sedikit demi sedikit petunjuk mulai terbaca. Puncaknya, mereka bertiga bersama Lacey sahabat Margo memutuskan pengadakan perjalanan jauh menuju Agloe, sebuah desa kecil di pinggiran kota New York. Sebuah olah pikir yang panjang yang menuntun mereka ke Kota Kertas dalam peta yang dahulu sering digunakan para pembuat peta untuk mencegah penjiplakan hak cipta.
Perjalanan itu benar-benar seperti bukan diri Q. Sebelumnya ia tak pernah mengelabui orangtuanya, ia tak pernah bolos sekolah, ia tak pernah begitu jauh dari Orlando, dan ia tak pernah bertindak sejauh ini. Saat remaja lain melakukan hal gila untuk terakhir kali di masa high school, Q melakukannya untuk pertama kali. Dan itu terjadi berkat Margo. Makin banyak misteri terurai, makin besar pula tekad dan keberanian Q untuk menemui Margo, untuk melawan rasa takutnya, untuk menemukan dan memastikan bahwa Margo belum mati, untuk menjelaskan perasaannya padanya. Ya, Margo memang selalu ingin Q menjadi pemberani.
Tak ada hal lain lagi yang lebih melegakan bagi Q, Ben, Lacey, dan Radar dalam perjalanan darat 21 jam terakhir selain untuk segera bertemu Margo. Dan omong-omong, mengapa Agloe? Entahlah. Mungkin Agloe tempat yang ‘sempurna’ bagi Margo yang retak untuk memulihkan diri, atau kota yang sempurna untuk menyambung kembali ‘senar’ yang putus, atau bisa jadi karena Agloe hanyalah sebuah lembaran dua dimensi yang berarti. Kota kertas untuk gadis kertas ala Margo. Dan tepat di sanalah mereka menemukannya.
Bagaimanapun Q mencintai Margo, dan bila pun Margo juga merasakan sesuatu terhadap Q, Q tetap bukanlah Margo, dan Margo bukanlah Q. Penguburan catatan petualangan Margo yang mulai ditulisnya sejak mereka menemukan mayat Robert Joyner di taman itu adalah manuver terakhir bagi hubungan panjang dan bersejarah mereka. Satu ciuman selamat tinggal melengkapi segalanya. Ini bukan tentang kisah cinta yang tak bisa bersatu karena perbedaan.  Namun Q berharap telah menyelesaikan tugas dengan benar, telah melakukan hal yang benar dengan tidak mengikuti Margo. Butuh waktu yang lama bagi Quentin Jacobsen untuk menyadari betapa berbahayanya menganggap seseorang lebih daripada seseorang itu sendiri.Margo bukanlah keajaiban, bukan pula petualangan. Ia hanya seorang gadis. [HJ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar