Judul
buku: Maneken
Jumlah
halaman: 181 halaman
Penerbit:
Republika
Tahun
terbit: 23 September 2015
ISBN13:
9786029474060
Sepasang maneken diletakkan
di etalase utama di sebuah butik bernama Medilon Shakespeare. Mereka bukanlah
maneken biasa. Pada kenyataannya, mereka dapat berkomunikasi. Mereka dapat
mempengaruhi manusia. Mereka memiliki sesuatu yang mereka sebut sebagai kemampuan maneken. Sebuah maneken perempuan bernama Claudia dan sebuah maneken
laki-laki bernama Fereli, dijadikan bintang utama dari busana-busana andalan
Medilon Shakespeare. Tak ada siapa pun yang tahu, betapa Claudia membenci
Fereli. Sikap sok tahunya. Keramahannya yang mengganggu. Kemampuan bahasa
Perancisnya yang menyebalkan. Tapi kemudian, dengan segenap kelembutan dan
ketabahannya menghadapi Claudia, Fereli berhasil memenangkan hati Claudia.
Aku kehilangan kata-kata. Caranya menanggapi, caranya bicara, caranya agar menenangkan emosiku. Aku merasa didorong ke dalam jiwaku sendiri, kemudian terangkat dengan melambung ke udara, melayang, terbang… (Claudia, hal. 60).Fereli dan Claudia yang jatuh cinta, membawa keberuntungan bagi Medilon Shakespeare. Busana yang dipamerkan oleh sepasang maneken utama itu seolah memiliki pengaruh tertentu. Semua orang yang menyaksikan sepasang maneken itu nyaris merasa yakin bahwa keduanya hidup. Pose yang mereka tunjukkan sarat emosi yang mampu mempengaruhi orang-orang yang melihat. Sayangnya, maneken hanyalah benda mati yang memiliki batas pakai. Semuanya hanya perkara manfaat. Ketika ia tidak lagi dibutuhkan, ketika ia tidak lagi memenuhi fungsi tertentu, ia bisa dengan mudah saja disingkirkan. Hal itulah yang terjadi pada Claudia dan Fereli. Suatu hari, Fereli disingkirkan oleh Sophie, pemimpin Medilon Shakespeare. Fereli yang malang dibuang ke tempat sampah, jauh dari Claudia. Dan Claudia malang yang sedang jatuh cinta, hanya bisa mengutuk Sophie tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sejak awal, kisah
Claudia dan Fereli ini akan mengingatkan kita pada sebuah film kartun laris Toy Story. Kisah
para mainan: boneka dan robot, yang berjuang agar tidak dibuang oleh manusia,
selagi menghadapi musuh sesama mainan. Suatu hari, kedua maneken kita ini pun
mengalaminya. Pemilik Claudia dan Fereli, memutuskan untuk membuang Fereli.
Dengan kemampuan manekennya, Fereli berjuang untuk kembali ke Medilon
Shakespeare untuk menemui dan membawa pergi kekasihnya, Claudia.
Tidak terhitung kisah cinta yang sudah
dituliskan, dengan beragam problematikanya. Kisah cinta sepasang boneka maneken
tentu adalah salah satu yang unik. Meski demikian, kisah Claudia dan Fereli tampaknya
bukan sekadar kisah cinta biasa. Penulisnya ingin membuatnya menjadi sebuah
kisah cinta yang mengandung perenungan. Tentang eksistensi manusia. Lebih dari
sekadar cinta dan perihal kehilangan.
Tak ada yang tak mungkin, karena kau hidup di bawah awan. Kau diperbolehkan bermimpi awan dan bisa berusaha meraihnya.
Coba bayangkan jika kau hidup hidup di atas awan, di manakah kau
menggantung mimpimu?
(Claudia,
hal. 90).
Jika Anda penggemar ‘diksi
apik’, Anda akan menikmati narasi yang digunakan penulis untuk mengisahkan
Maneken. Puitis dan mengandung kedalaman makna. Pembaca akan dibuat merenung
selama sesaat, mengenai hal-hal tertentu, untuk kemudian melanjutkan membaca. Meski
demikian, diksi penulis yang khas ini,
terasa pelik di beberapa bagian, sehingga beberapa deskripsi dan narasi terasa
kurang efektif. Beberapa kesalahan tipografi cukup mengganggu kenyamanan
membaca. Juga penyusunan kalimat tertentu, membuat saya harus membaca ulang dan
menarik kesimpulan pemaknaan personal atas itu. Tapi senang rasanya, bisa
menemukan buku fiksi dalam negeri yang ditulis dengan tujuan lebih dari sekadar
mendongeng, melainkan juga menyisipkan value
lebih sebagai bahan renungan.
Kisah Claudia dan Fereli ini
diceritakan dalam dua sudut pandang, yakni sudut pandang Claudia dan Fereli,
dengan keduanya bertindak sebagai narator. Claudia menjadi narator di paruh
pertama buku, dan Fereli di separuh terakhir. Sayangnya, karena Fereli
mengambil alih cerita di separuh bagian terakhir, saya merasa kehilangan
Claudia sepenuhnya. Padahal saya berharap, bisa mengetahui hal-hal yang dialami
Claudia atau mengetahui apa yang dialami Sophie melalui sudut pandang Claudia
untuk menegaskan antagonisme Sophie. Entah mengapa, saya tidak begitu membenci
Sophie. Kemarahannya terasa begitu wajar bagi saya. Mungkin kisah ini terlalu
singkat untuk bisa mengenal latar belakang Sophie dengan lebih baik. Dari sudut
pandang Claudia dan Fereli, kejahatan Sophie hanyalah karena gadis itu
memisahkan mereka dan ingin melenyapkan keduanya. Tetapi sebenarnya, kemarahan
Sophie dipicu oleh sebuah hal lain yang bisa menguatkan karakter buruk Sophie,
yang sayangnya, hanya dikisahkan sambil lalu.
Saya kira, membungkus makna
filosofis dalam kisah cinta adalah trik yang cerdas dari penulis, yang layak
diapresiasi dengan baik. Sayangnya, keterbatasan ruang bercerita menjadikan
cerita ini terasa tanggung. Banyak karakter yang tidak tergali dengan baik. Termasuk
Claudia. Perkembangan karakter Claudia tidak dibarengi dengan pengisahan yang
meyakinkan. Di awal, karakter Claudia sangat menyebalkan. Dia berburuk sangka
pada banyak hal dan membenci hal-hal yang belum dikenalnya dengan baik. Tapi tiba-tiba
saja, jatuh cinta menjadikannya begitu bijaksana. Atau memang, jatuh cinta
memang bisa mengubah sesuatu atau seseorang hingga menjadi lebih baik, ya? Ah,
mungkin saja ini juga pesan penulis yang lain.
Pada akhirnya,
Maneken adalah sebuah kisah cinta sarat renungan yang bisa dikhatamkan dalam
sekali duduk. Banyak kalimat-kalimat yang baik untuk dikutip dan pesan-pesan
baik untuk disimpan dari buku ini. Tiga setengah bintang untuk Maneken!
…tidak ada kesempurnaan absolut yang dihasilkan homo sapiens—sekalipun homo sapiens modern, yakni kita!—kesempurnaan yang ada hanyalah puing-puing usaha paripurna yang patut dibanggakan sekadarnya, tak boleh lebih (Sophie, hal. 179).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar