Pages

Rabu, 11 Mei 2016

MANEKEN: Sebuah Kisah Cinta Sarat Renungan

Judul buku: Maneken
Jumlah halaman: 181 halaman
Penulis: S.J. Munkian
Penerbit: Republika
Tahun terbit: 23 September 2015
ISBN13: 9786029474060
Sepasang maneken diletakkan di etalase utama di sebuah butik bernama Medilon Shakespeare. Mereka bukanlah maneken biasa. Pada kenyataannya, mereka dapat berkomunikasi. Mereka dapat mempengaruhi manusia. Mereka memiliki sesuatu yang mereka sebut sebagai kemampuan maneken. Sebuah maneken perempuan bernama Claudia dan sebuah maneken laki-laki bernama Fereli, dijadikan bintang utama dari busana-busana andalan Medilon Shakespeare. Tak ada siapa pun yang tahu, betapa Claudia membenci Fereli. Sikap sok tahunya. Keramahannya yang mengganggu. Kemampuan bahasa Perancisnya yang menyebalkan. Tapi kemudian, dengan segenap kelembutan dan ketabahannya menghadapi Claudia, Fereli berhasil memenangkan hati Claudia.

Aku kehilangan kata-kata. Caranya menanggapi, caranya bicara, caranya agar menenangkan emosiku. Aku merasa didorong ke dalam jiwaku sendiri, kemudian terangkat dengan melambung ke udara, melayang, terbang… (Claudia, hal. 60).
Fereli dan Claudia yang jatuh cinta, membawa keberuntungan bagi Medilon Shakespeare. Busana yang dipamerkan oleh sepasang maneken utama itu seolah memiliki pengaruh tertentu. Semua orang yang menyaksikan sepasang maneken itu nyaris merasa yakin bahwa keduanya hidup. Pose yang mereka tunjukkan sarat emosi yang mampu mempengaruhi orang-orang yang melihat. Sayangnya, maneken hanyalah benda mati yang memiliki batas pakai. Semuanya hanya perkara manfaat. Ketika ia tidak lagi dibutuhkan, ketika ia tidak lagi memenuhi fungsi tertentu, ia bisa dengan mudah saja disingkirkan. Hal itulah yang terjadi pada Claudia dan Fereli. Suatu hari, Fereli disingkirkan oleh Sophie, pemimpin Medilon Shakespeare. Fereli yang malang dibuang ke tempat sampah, jauh dari Claudia. Dan Claudia malang yang sedang jatuh cinta, hanya bisa mengutuk Sophie tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sejak awal, kisah Claudia dan Fereli ini akan mengingatkan kita pada sebuah film kartun laris Toy Story. Kisah para mainan: boneka dan robot, yang berjuang agar tidak dibuang oleh manusia, selagi menghadapi musuh sesama mainan. Suatu hari, kedua maneken kita ini pun mengalaminya. Pemilik Claudia dan Fereli, memutuskan untuk membuang Fereli. Dengan kemampuan manekennya, Fereli berjuang untuk kembali ke Medilon Shakespeare untuk menemui dan membawa pergi kekasihnya, Claudia.
Tidak terhitung kisah cinta yang sudah dituliskan, dengan beragam problematikanya. Kisah cinta sepasang boneka maneken tentu adalah salah satu yang unik. Meski demikian, kisah Claudia dan Fereli tampaknya bukan sekadar kisah cinta biasa. Penulisnya ingin membuatnya menjadi sebuah kisah cinta yang mengandung perenungan. Tentang eksistensi manusia. Lebih dari sekadar cinta dan perihal kehilangan.
Tak ada yang tak mungkin, karena kau hidup di bawah awan. Kau diperbolehkan bermimpi awan dan bisa berusaha meraihnya.
Coba bayangkan jika kau hidup hidup di atas awan, di manakah kau menggantung mimpimu?
(Claudia, hal. 90).
Jika Anda penggemar ‘diksi apik’, Anda akan menikmati narasi yang digunakan penulis untuk mengisahkan Maneken. Puitis dan mengandung kedalaman makna. Pembaca akan dibuat merenung selama sesaat, mengenai hal-hal tertentu, untuk kemudian melanjutkan membaca. Meski demikian, diksi penulis yang khas ini, terasa pelik di beberapa bagian, sehingga beberapa deskripsi dan narasi terasa kurang efektif. Beberapa kesalahan tipografi cukup mengganggu kenyamanan membaca. Juga penyusunan kalimat tertentu, membuat saya harus membaca ulang dan menarik kesimpulan pemaknaan personal atas itu. Tapi senang rasanya, bisa menemukan buku fiksi dalam negeri yang ditulis dengan tujuan lebih dari sekadar mendongeng, melainkan juga menyisipkan value lebih sebagai bahan renungan.
Kisah Claudia dan Fereli ini diceritakan dalam dua sudut pandang, yakni sudut pandang Claudia dan Fereli, dengan keduanya bertindak sebagai narator. Claudia menjadi narator di paruh pertama buku, dan Fereli di separuh terakhir. Sayangnya, karena Fereli mengambil alih cerita di separuh bagian terakhir, saya merasa kehilangan Claudia sepenuhnya. Padahal saya berharap, bisa mengetahui hal-hal yang dialami Claudia atau mengetahui apa yang dialami Sophie melalui sudut pandang Claudia untuk menegaskan antagonisme Sophie. Entah mengapa, saya tidak begitu membenci Sophie. Kemarahannya terasa begitu wajar bagi saya. Mungkin kisah ini terlalu singkat untuk bisa mengenal latar belakang Sophie dengan lebih baik. Dari sudut pandang Claudia dan Fereli, kejahatan Sophie hanyalah karena gadis itu memisahkan mereka dan ingin melenyapkan keduanya. Tetapi sebenarnya, kemarahan Sophie dipicu oleh sebuah hal lain yang bisa menguatkan karakter buruk Sophie, yang sayangnya, hanya dikisahkan sambil lalu.
Saya kira, membungkus makna filosofis dalam kisah cinta adalah trik yang cerdas dari penulis, yang layak diapresiasi dengan baik. Sayangnya, keterbatasan ruang bercerita menjadikan cerita ini terasa tanggung. Banyak karakter yang tidak tergali dengan baik. Termasuk Claudia. Perkembangan karakter Claudia tidak dibarengi dengan pengisahan yang meyakinkan. Di awal, karakter Claudia sangat menyebalkan. Dia berburuk sangka pada banyak hal dan membenci hal-hal yang belum dikenalnya dengan baik. Tapi tiba-tiba saja, jatuh cinta menjadikannya begitu bijaksana. Atau memang, jatuh cinta memang bisa mengubah sesuatu atau seseorang hingga menjadi lebih baik, ya? Ah, mungkin saja ini juga pesan penulis yang lain.
Pada akhirnya, Maneken adalah sebuah kisah cinta sarat renungan yang bisa dikhatamkan dalam sekali duduk. Banyak kalimat-kalimat yang baik untuk dikutip dan pesan-pesan baik untuk disimpan dari buku ini. Tiga setengah bintang untuk Maneken!

 …tidak ada kesempurnaan absolut yang dihasilkan homo sapiens—sekalipun homo sapiens modern, yakni kita!—kesempurnaan yang ada hanyalah puing-puing usaha paripurna yang patut dibanggakan sekadarnya, tak boleh lebih (Sophie, hal. 179).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar