Pages

Minggu, 11 Januari 2015

Reading Story #1: Tentang Rindu


Photo taken by Leea Avtari
Judul buku: Rindu
Penulis:  
Jumlah halaman: 544 halaman
Tahun terbit: 25 September 2014 
Penerbit: Penerbit Republika
ISBN13: 9786028997904

       Desain cover yang terkesan minimalis dan manis adalah alasan saya mecomot novel ini di antara deretan novel yang bersarang di atas rak buku Gramedia. Pokonya good looking deh ini novel. Pun pemilihan judul “Rindu” mempermanis tampilan luarnya. Banyak pembaca yang agaknya tergoda dengan cerita yang ditawarkan dalam sinopsis (lima tokoh, lima konflik, lima pertanyaan) akan tetapi kali ini judul saja telah membuat saya mereka-reka ada sesuatu dalam novel ini karena saya cukup yakin Tere Liye tidak akan tega mendeksripsikan rindu yang dangkal. Ekspektasi lebih tak bisa saya hindari karena sudah lumayan menggandrungi karya-karya Tere Liye sebelumnya walau bukan berarti mengkultuskan.

        Oke saya tidak akan bergenit-genit pada judul karena kisah dalam novel ini alhamdulillah jauh lebih menarik. Intinya cerita ini mengenai lima tokoh, lima cerita dan lima pertanyaan yang menjembatani alur novel ini. Dengan menggunakan setting sebuah kapal uap Blitar Holland di penghujung tahun 1938-1939 yang mengantar kaum muslimin menunaikan ibadah haji. Mulanya kapal ini digunakan mengangkut peralatan atau rempah-rempah namun melihat meningkatnya animo masyarakat melaksakan ibadah haji tahun demi tahun, maka mengangkut penumpang dirasa jauh lebih menguntungkan. Sangat kontras jika membandingkan kondisi antara perjalanan haji masa lampau dengan perjalan haji masa kini. Nah, kontras ini dimainkan dengan baik sehingga membuat kita tak ingin enyah menikmati tiap inci perjalanan dari kota ke kota berikut sekelumit permasalahannya. 
       Perjalanan haji di masa lampau bukan main repotnya menguras fisik dan waktu berbulan-bulan. Perjalanan tidak selalu mulus, butuh perjuangan lebih karena dalam beberapa kasus perjalanan seperti ini tidak mudah direalisasikan sebab ketatnya peraturan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda yang mencurigai adanya riak-riak perlawanan dari rakyat Indonesia, jadi setiap perjalanan selalu diawasi dengan saksama. Misalnya saja tokoh Gurutta yang diplot sebagai ulama besar dari Sulawesi Selatan ini selalu saja jadi bulan-bulanan sergeant Lucas. Menariknya, kapten kapal Philips yang juga orang Belanda menunjukan pembelaan dan penghargaannya tidak saja pada ulama besar itu, tapi seluruh penghuni Blitar Holland dan beberapa kali berselisish dengan sergeant Lukas yang berwatak keras. Salah satu bentuk apresiasi Philips ini ketika memberikan honor di muka pada Ambo Uleng yang hanya membawa pakaian di badan yang tentu saja tidak begitu mengharapkan pemberian honor tersebut. Kapten Philips merekrut Ambo Uleng bukanlah sekadar belas kasih, pemuda ini dinilai akan banyak membantu karena sebelumnya telah punya pengalaman di sebuah kapal phinisi. 

       Untuk menghindari kejemuan “bermain-main” di kapal maka penulis berhasil meramu aktivitas-aktivitas di dalam kapal sedemikian rupa hingga kita akan merasa Blitar Holland mungkin adalah sebuah rumah yang berjalan di atas laut. Dengan banyaknya ruang dan fasilitas memadai maka ingatan kita akan terpental pada Titanic dan (mungkin) untuk menghindari kecurigaan miripnya Titanic dan Blitar Holland maka di halaman-halaman awal hal ini dijabarkan termasuk perbedaan kedua kapal tersebut. 

       Blitar Holland bertolak dari Makassar lalu berlabuh ke beberapa kota, dan Aceh menjadi persinggahan terakhir (inilah alasan mengapa Aceh dijuluki Serambi Mekah) sebelum menyeberang ke samudera yang lebih luas. 

       Dalam cerita ini kita akan diperkenalkan tokoh Ambo Uleng yang memendam perasaan dan masalahnya. Tak peduli ia dibayar atau tidak, asalkan ia berhasil pergi sejauh-jauhnya dari kekasih dan keluarga sang kekasih yang telah mencampakkannya maka tak jadi soal baginya. Kemudian Daeng Andipati yang dianggap Ruben sang kelasi Belanda--adalah sosok paling bahagia di kapal tapi bagi Daeng Andipati anggapan itu adalah tamparan telak baginya. Dalam hidupnya tak pernah sekalipun ia tidak mensyukuri dianugerahi isteri cantik, anak-anak lucu dan solehah juga kekayaan yang melimpah namun kebahagiaan itu nyatanya sudah dilukai oleh masa lalu yang tumbuh subur bagai onak duri dalam batinnya. Masalah berikutnya adalah seorang lelaki yang tak bisa melepaskan kekasihnya walaupun maut yang memisahkan mereka, terlebih lagi janji menginjakkan kaki bersama di tanah suci tak mungkin tercapai. Konflik selanjutnya datang dari seorang muslimah mualaf yang cantik jelita keturunan Tinghoa, Bonda Upe. Bonda Upe tak bisa melupakan masa lalunya sebagai cabo, selalu saja ia cemas jika identitas lamanya dikenali orang lain. Tokoh kelima, hmmm … segera baca novelnya karena tokoh ke lima ini adalah bagian semua tokoh berikut pertanyaannya. 

       Konfliknya berat-berat ya? Tenang saja kita disuguhkan dua karakter pendukung. Keceriaan Anna dan Elsa kerap melipur hati Ambo Uleng yang tak kunjung move on (oaalaah) Ambo Uleng … Ambo Uleng.

       Tak beda seperti kelima tokoh itu, Blitar Holland pun direcoki masalah sejak sampai di Surabaya dan untungnya Ambo Uleng sebagai kelasi yang berpengalaman sangat membantu di kondisi genting sehingga kapal tersebut berhasil melenggang mulus di Kolombo. Meski masalah tekhnis ini sudah dibenahi namun tanpa ada yang menduga bahaya besar sedang menunggu di samudera Hindia. Tentu saja ini bukan Titanic yang menabrak gunung es lalu karam di perut samudera yang menyisakan tragedi setelahnya, ah tidak separah itu juga. Seperti yang sudah terbaca, ketangkasan Ambo Uleng beserta pengalaman yang diperolehnya di masa lalu sudah dipersiapkan untuk membantu Blitar Holland di saat-saat genting jadi cukup logis jika kadang-kadang ia bisa terlihat seperti super hero. Namun Ambo Uleng tidak bersinar sendiri. Ada ulama besar kita, Gurutta yang jadi pendobrak semangat para penumpang dan kesultanan Ternate yang juga mendukung aksi Ambo Uleng. Momen-momen menakutkan ini dideskripsikan tidak terlalu berlebihan, dan sebelum itu ada adegan dramatis disajikan: meninggalnya seseorang di kapal, dan mengikuti aturan mainnya mayat seorang muslimah itu di lemparkan ke laut membuat kekasihnya terkulai dan berurai air mata. 

       Lalu, apakah semua ini berakhir sempurna? Berakhir bahagia, ya mungkin saja. Seperti kata peribahasa tak ada gading yang tak retak begitu pula novel ini yang memungkin terbukanya “cela”. Pada halaman awal-awal walau tidak berhubungan dengan cerita—ya tidak ada yang salah dengan ini. Penulis menyebutkan beberapa kejadian menarik: Hitler menyerang Austria, Indonesia untuk pertama kalinya dan belum pernah lagi sampai saat ini mengikuti ajang piala dunia di Perancis 1938, juga beberapa hal urgen yang terjadi di nusantara namun kota yang ditapaki pertama kali, Makassar—sungguh tidak diberi perhaatian khusus, saya tidak mendapatkan gambaran yang lumayan atau ada sesuatu yang akan saya kenang-kenang setelah mengucapkan good bye pada novel ini, malah kejadian di Surabaya lebih menarik, ternyata pernah ada trem yang tak kalah kerennya yang pernah ada di Eropa sana, dan juga ada penumpang yang nyaris meregang nyawa untunglah sang pejantan patah hati Ambo Uleng mampu menyelamatkan. Sebagai pembaca yang haus akan potret Sulawesi Selatan di masa lampau ini adalah merupakan kekecewaan. Saya mulai berbesar hati mungkin saja penulis tidak betah berlama-lama menceritakan Makassar karena bisa jadi cerita ini hanya akan jadi ulasan sejarah yang membosankan lagi pula itu bukanlah esensinya. Selain itu, ada satu lagi yang menyita perhatian, cara bertutur tokohnya yang tercermin di dialog dan karakter sepertinya agak terkontaminasi pada karakter di novel-novel sebelumnya. Dan karena semua karakter sudah sedemikian rapinya dipersiapkan untuk peyelesaian konflik maka tak ada yang perlu saya kagetkan dalam novel ini.

       Nah, saya tidak akan menceritakan lebih jauh lagi karena akan jadi piadato panjang yang mengerikan. Bagi pembaca yang menunggu-nunggu pesan moral dari novel ini maka hal tersebut terselip dalam kelima pertaanyaan itu sendiri, bagaimana proses perenungan tokoh-tokoh ini menemukan jawaban dari setiap pertanyaan, dan sangat mungkin salah satu dari lima pertanyaan ini juga kita alami dalam kehidupan sehari-hari. 

       Sebagai penutup, mengingat Gurutta sangat peduli pada semua orang bermasalah yang ada di Blittar Holland, jika kalian bisa masuk pada novel itu apa yang hendak ditanyakan?

__L.A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar