![]() |
Photo taken by Leea Avtari |
Judul buku: Rindu
Penulis: Tere Liye
Jumlah halaman: 544 halaman
Tahun terbit: 25 September 2014
Penerbit: Penerbit Republika
ISBN13: 9786028997904
Desain
cover yang terkesan minimalis dan manis adalah alasan saya mecomot
novel ini di antara deretan novel yang bersarang di atas rak buku
Gramedia. Pokonya good looking deh ini novel. Pun pemilihan judul
“Rindu” mempermanis tampilan luarnya. Banyak pembaca yang agaknya tergoda
dengan cerita yang ditawarkan dalam sinopsis (lima tokoh, lima konflik,
lima pertanyaan) akan tetapi kali ini judul saja telah membuat saya
mereka-reka ada sesuatu dalam novel ini karena saya cukup yakin Tere
Liye tidak akan tega mendeksripsikan rindu yang dangkal. Ekspektasi
lebih tak bisa saya hindari karena sudah lumayan menggandrungi
karya-karya Tere Liye sebelumnya walau bukan berarti mengkultuskan.
Oke saya tidak akan bergenit-genit pada judul karena kisah dalam novel
ini alhamdulillah jauh lebih menarik. Intinya cerita ini mengenai lima
tokoh, lima cerita dan lima pertanyaan yang menjembatani alur novel
ini. Dengan menggunakan setting sebuah kapal uap Blitar Holland di
penghujung tahun 1938-1939 yang mengantar kaum muslimin menunaikan
ibadah haji. Mulanya kapal ini digunakan mengangkut peralatan atau
rempah-rempah namun melihat meningkatnya animo masyarakat melaksakan
ibadah haji tahun demi tahun, maka mengangkut penumpang dirasa jauh
lebih menguntungkan. Sangat kontras jika membandingkan kondisi antara
perjalanan haji masa lampau dengan perjalan haji masa kini. Nah, kontras
ini dimainkan dengan baik sehingga membuat kita tak ingin enyah
menikmati tiap inci perjalanan dari kota ke kota berikut sekelumit
permasalahannya.
Perjalanan haji di masa lampau bukan main
repotnya menguras fisik dan waktu berbulan-bulan. Perjalanan tidak
selalu mulus, butuh perjuangan lebih karena dalam beberapa kasus
perjalanan seperti ini tidak mudah direalisasikan sebab ketatnya
peraturan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda yang mencurigai
adanya riak-riak perlawanan dari rakyat Indonesia, jadi setiap
perjalanan selalu diawasi dengan saksama. Misalnya saja tokoh Gurutta
yang diplot sebagai ulama besar dari Sulawesi Selatan ini selalu saja
jadi bulan-bulanan sergeant Lucas. Menariknya, kapten kapal Philips yang
juga orang Belanda menunjukan pembelaan dan penghargaannya tidak saja
pada ulama besar itu, tapi seluruh penghuni Blitar Holland dan beberapa
kali berselisish dengan sergeant Lukas yang berwatak keras. Salah satu
bentuk apresiasi Philips ini ketika memberikan honor di muka pada Ambo
Uleng yang hanya membawa pakaian di badan yang tentu saja tidak begitu
mengharapkan pemberian honor tersebut. Kapten Philips merekrut Ambo
Uleng bukanlah sekadar belas kasih, pemuda ini dinilai akan banyak
membantu karena sebelumnya telah punya pengalaman di sebuah kapal
phinisi.
Untuk menghindari kejemuan “bermain-main” di kapal
maka penulis berhasil meramu aktivitas-aktivitas di dalam kapal
sedemikian rupa hingga kita akan merasa Blitar Holland mungkin adalah
sebuah rumah yang berjalan di atas laut. Dengan banyaknya ruang dan
fasilitas memadai maka ingatan kita akan terpental pada Titanic dan
(mungkin) untuk menghindari kecurigaan miripnya Titanic dan Blitar
Holland maka di halaman-halaman awal hal ini dijabarkan termasuk
perbedaan kedua kapal tersebut.
Blitar Holland bertolak dari
Makassar lalu berlabuh ke beberapa kota, dan Aceh menjadi persinggahan
terakhir (inilah alasan mengapa Aceh dijuluki Serambi Mekah) sebelum
menyeberang ke samudera yang lebih luas.
Dalam cerita ini kita
akan diperkenalkan tokoh Ambo Uleng yang memendam perasaan dan
masalahnya. Tak peduli ia dibayar atau tidak, asalkan ia berhasil pergi
sejauh-jauhnya dari kekasih dan keluarga sang kekasih yang telah
mencampakkannya maka tak jadi soal baginya. Kemudian Daeng Andipati yang
dianggap Ruben sang kelasi Belanda--adalah sosok paling bahagia di
kapal tapi bagi Daeng Andipati anggapan itu adalah tamparan telak
baginya. Dalam hidupnya tak pernah sekalipun ia tidak mensyukuri
dianugerahi isteri cantik, anak-anak lucu dan solehah juga kekayaan yang
melimpah namun kebahagiaan itu nyatanya sudah dilukai oleh masa lalu
yang tumbuh subur bagai onak duri dalam batinnya. Masalah berikutnya
adalah seorang lelaki yang tak bisa melepaskan kekasihnya walaupun maut
yang memisahkan mereka, terlebih lagi janji menginjakkan kaki bersama di
tanah suci tak mungkin tercapai. Konflik selanjutnya datang dari
seorang muslimah mualaf yang cantik jelita keturunan Tinghoa, Bonda Upe.
Bonda Upe tak bisa melupakan masa lalunya sebagai cabo, selalu saja ia
cemas jika identitas lamanya dikenali orang lain. Tokoh kelima, hmmm …
segera baca novelnya karena tokoh ke lima ini adalah bagian semua tokoh
berikut pertanyaannya.
Konfliknya berat-berat ya? Tenang saja
kita disuguhkan dua karakter pendukung. Keceriaan Anna dan Elsa kerap
melipur hati Ambo Uleng yang tak kunjung move on (oaalaah) Ambo Uleng …
Ambo Uleng.
Tak beda seperti kelima tokoh itu, Blitar Holland
pun direcoki masalah sejak sampai di Surabaya dan untungnya Ambo Uleng
sebagai kelasi yang berpengalaman sangat membantu di kondisi genting
sehingga kapal tersebut berhasil melenggang mulus di Kolombo. Meski
masalah tekhnis ini sudah dibenahi namun tanpa ada yang menduga bahaya
besar sedang menunggu di samudera Hindia. Tentu saja ini bukan Titanic
yang menabrak gunung es lalu karam di perut samudera yang menyisakan
tragedi setelahnya, ah tidak separah itu juga. Seperti yang sudah
terbaca, ketangkasan Ambo Uleng beserta pengalaman yang diperolehnya di
masa lalu sudah dipersiapkan untuk membantu Blitar Holland di saat-saat
genting jadi cukup logis jika kadang-kadang ia bisa terlihat seperti
super hero. Namun Ambo Uleng tidak bersinar sendiri. Ada ulama besar
kita, Gurutta yang jadi pendobrak semangat para penumpang dan kesultanan
Ternate yang juga mendukung aksi Ambo Uleng. Momen-momen menakutkan
ini dideskripsikan tidak terlalu berlebihan, dan sebelum itu ada adegan
dramatis disajikan: meninggalnya seseorang di kapal, dan mengikuti
aturan mainnya mayat seorang muslimah itu di lemparkan ke laut membuat
kekasihnya terkulai dan berurai air mata.
Lalu, apakah semua
ini berakhir sempurna? Berakhir bahagia, ya mungkin saja. Seperti kata
peribahasa tak ada gading yang tak retak begitu pula novel ini yang
memungkin terbukanya “cela”. Pada halaman awal-awal walau tidak
berhubungan dengan cerita—ya tidak ada yang salah dengan ini. Penulis
menyebutkan beberapa kejadian menarik: Hitler menyerang Austria,
Indonesia untuk pertama kalinya dan belum pernah lagi sampai saat ini
mengikuti ajang piala dunia di Perancis 1938, juga beberapa hal urgen
yang terjadi di nusantara namun kota yang ditapaki pertama kali,
Makassar—sungguh tidak diberi perhaatian khusus, saya tidak mendapatkan
gambaran yang lumayan atau ada sesuatu yang akan saya kenang-kenang
setelah mengucapkan good bye pada novel ini, malah kejadian di Surabaya
lebih menarik, ternyata pernah ada trem yang tak kalah kerennya yang
pernah ada di Eropa sana, dan juga ada penumpang yang nyaris meregang
nyawa untunglah sang pejantan patah hati Ambo Uleng mampu menyelamatkan.
Sebagai pembaca yang haus akan potret Sulawesi Selatan di masa lampau
ini adalah merupakan kekecewaan. Saya mulai berbesar hati mungkin saja
penulis tidak betah berlama-lama menceritakan Makassar karena bisa jadi
cerita ini hanya akan jadi ulasan sejarah yang membosankan lagi pula itu
bukanlah esensinya. Selain itu, ada satu lagi yang menyita perhatian,
cara bertutur tokohnya yang tercermin di dialog dan karakter sepertinya
agak terkontaminasi pada karakter di novel-novel sebelumnya. Dan karena
semua karakter sudah sedemikian rapinya dipersiapkan untuk peyelesaian
konflik maka tak ada yang perlu saya kagetkan dalam novel ini.
Nah, saya tidak akan menceritakan lebih jauh lagi karena akan jadi
piadato panjang yang mengerikan. Bagi pembaca yang menunggu-nunggu
pesan moral dari novel ini maka hal tersebut terselip dalam kelima
pertaanyaan itu sendiri, bagaimana proses perenungan tokoh-tokoh ini
menemukan jawaban dari setiap pertanyaan, dan sangat mungkin salah satu
dari lima pertanyaan ini juga kita alami dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai penutup, mengingat Gurutta sangat peduli pada semua orang
bermasalah yang ada di Blittar Holland, jika kalian bisa masuk pada
novel itu apa yang hendak ditanyakan?
__L.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar