Judul
buku: Menjadi Djo
Jumlah
halaman: 296 halaman
Penulis:
Dyah Rinni
Tahun
terbit: 22 Mei 2014
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020304472
“Apa hanya karena lahir di Indonesia, otomatis kita menjadi orang Indonesia? Kalau begitu, bukankah aku berhak disebut sebagai orang Indonesia juga?Tetapi tidak. Hanya karena kulit kami yang berbeda, seumur hidup keberadaan kami akan selalu dipertanyakan. Apakah kami setia? Apakah kami akan membelot?Apakah kami akan menjual negara ini? Ataukah karena hati kita di Indonesia, kita berhak disebut orang Indonesia?
Aku tidak pernah mengenal China. Bagiku, negara itu terlalu jauh dan tidak pernah menyumbangkan apa pun kecuali dongeng masa lampau keluargaku. Sepanjang hidupku, aku hanya mengenal satu negara Indonesia. Aku lahir di sini, makan di sini, dan kelak akan mati di sini. Aku berdarah ketika Indonesia disakiti. Jiwaku ada di sini sebagaimana ragaku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan negeri ini sementara semua yang aku cintai dan perjuangkan ada di negeri ini?"
Sinopsis di atas adalah salah satu dialog Djo
kala membalas komentar berbau ras Alvaro yang selalu berusaha menyudutkannya.
Kemudian saya mengira-ngira apakah fokus cerita ini adalah konflik rasial di
bumi pertiwi ini ataukah perjuangan Djo dari zero to hero. Kisah
masa kecil A Guan di Medan dan persahabatannya dengan Yanto menurut saya adalah chapter paling
manis dan menyentuh dari keseluruhan isi novel ini, dan sesungguhnya
dari sinilah kisah ini bermula. Plot andalan saya adalah ketika
Yanto mendapati rumah keluarga Tan sudah tak berpenghuni lagi. Saya pun ikut
menitikkan air mata kala Yanto menerima benda berharga peningggalan A Guan
yaitu komik dan pedang yang selama ini dikultuskan A Guan, bahkan A Guan sempat
menaruh curiga pada Yanto ketika pedang tersebut tiba-tiba “menghilang” dari
kamarnya, dan pembaca juga diarahkan untuk mempercayai jalan
pemikiran A Guan, namun pada akhirnya ibu A Guan yang bijak berhasil
mengembalikan kepercayaan A Guan kepada Yanto. Kenapa saya berulang kali
mengatakan bagian masa kecil A Guan adalah yang paling memorable karena
penulis banyak menyisipkan sesuatu yang jarang saya lihat berdampingan di kehidupan
nyata, seperti status sosial antara A Guan dan Yanto yang begitu berbeda: A
Guan adalah anak keluarga Tan yang kaya sementara Yanto tak lain hanyalah anak
pembantu yang mengabdi pada keluarga Tan. Persahabatan lintas ras ini
membuat saya memahami bahwa dunia anak benar-benar tak tersentuh oleh segala
sekat-sekat perbedaan yang sering membuat dangkal kehidupan orang dewasa.
Persahabatan penuh warna-warni jelas saja menjadi poin sangat penting dalam chapter ini,
dan saya pikir tiap pembaca akan membuka kembali kenangan bersama
sahabat-sahabat masa kecil mereka. So Nice!
Pada tahun 1960-an keluarga Tan terpaksa
meninggalkan Medan dan berhijrah ke Jakarta akibat polemik politik yang terjadi
di tahun 1965 berimbas pada konflik rasial kaum Tionghoa. Di Jakarta, ayah A
guan memutuskan mengganti nama seluruh anggota keluarga menjadi nama-nama
pribumi sesuai aturan pemerintah pada saat itu. Pada bagian ini memberi wawasan
utuk saya yang seringkali heran pada keturunan Tionghoa namun bernama pribumi.
A Guan yang sudah berganti nama menjadi Djohan
melanjutkan sekolah di salah satu SMP katolik. Tak butuh lama Djo beradaptasi.
Corby adalah teman pertama yang dikenal A Guan sekaligus memancing bakat dan
ide-ide kreatifnya sehingga mereka menjadi penggagas majalah Samanta yang
membuat mereka menjadi remaja-remaja populer di sekolah tersebut. Meski saya
tertarik dengan persahabatan remaja-remaja ini tetapi di bagian ini saya merasa
semua berlangsung begitu cepat, sedikit terganggu dengan dialog-dialog
Djo dan Corby yang terlihat agak dewasa utuk anak semuran mereka.
A Guan yang bertransformasi menjadi Djo
digambarkan telah menyimpan ketertarikannya pada Rinai cewek yang juga berdarah
Tionghoa dan bersamaan dengan ini kehadiran tokoh Alvaro mulai membuat konflik
rasial itu. Alvaro diplot sebebagai seseorang yang sangat membenci Djo karena
cemburu akan kedekatan Rinai dan Djo dan juga sangat jelas Alvaro suka
mengkotak-kotakkan orang, bahkan kebenciannya pada Djo itu diwujudkannya dengan
teror yang bikin kelimpungan Djo dan teman-temannya.
Djo melanjutkan pendidikannya di Universitas
Trisakti dan ia dipertemukan kembali dengan Alvaro di sebuah diskusi yang
semakin memanaskan hubungan mereka. Sahabat-sahabat Djo tidak menyukai perangai
Alvaro maka mereka menjahili Alvaro. Sebenarnya dari kejadian Alvaro mengawasi
Djo secara diam-diam saya mulai curiga akan ada hal-hal membahayakan yang
menimpa Djo namun sampai ending hal itu tampaknya tidak terbukti. Sebuah twist
juga dihadirkan di ending yaitu Rinai yang memilih menolak Djo karena telah
dijodohkan oleh seseorang yang selama ini membiayai hidupnya dan keluarganya.
Ini cukup menjawab mengapa Rinai begitu tertutup pada Djo. Djo pun akhirnya
dengan berani menolak gadis yang dipilhkan ibunya dan memutuskan akan menikahi
wanita non-Tionghoa dengan maksud memutuskan mata rantai konflik rasis yang masih
sering dialaminya.
Cerita dalam novel ini begitu menggugah benak
saya untuk memahami pemikiran seorang Djo yang betul-betul ingin menjadi
manusia Indonesia seutuhnya tanpa harus dicurigai akan membelot hanya karena
berbeda kulit dan latar belakang. Keinginan Djo ini terlihat dari kecil hingga
duduk di bangku universitas, ia selalu bersahabat dengan orang-orang yang
berbeda suku. Namun jujur saja, sebagai pembaca ada beberapa hal yang membuat
saya kurang puas karena masih banyak pertanyaan yang tampaknya belum terjawab.
Namun saya juga menduga pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab di
sekuel-sekuel berikutnya karena perjuangan Djo untuk menjadi manusia Indonesia
seutuhnya sepertinya barulah sepenggal.
By
Leea Avtari
Kendari,
8 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar