Pages

Rabu, 09 Juli 2014

Menjadi Djo, Sebuah Review

Judul buku: Menjadi Djo
Jumlah halaman: 296 halaman
Penulis: Dyah Rinni
Tahun terbit: 22 Mei 2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020304472

         “Apa hanya karena lahir di Indonesia, otomatis kita menjadi orang Indonesia? Kalau begitu, bukankah aku berhak disebut sebagai orang Indonesia juga?Tetapi tidak. Hanya karena kulit kami yang berbeda, seumur hidup keberadaan kami akan selalu dipertanyakan. Apakah kami setia? Apakah kami akan membelot?Apakah kami akan menjual negara ini? Ataukah karena hati kita di Indonesia, kita berhak disebut orang Indonesia?
         Aku tidak pernah mengenal China. Bagiku, negara itu terlalu jauh dan tidak pernah menyumbangkan apa pun kecuali dongeng masa lampau keluargaku. Sepanjang hidupku, aku hanya mengenal satu negara Indonesia. Aku lahir di sini, makan di sini, dan kelak akan mati di sini. Aku berdarah ketika Indonesia disakiti. Jiwaku ada di sini sebagaimana ragaku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan negeri ini sementara semua yang aku cintai dan perjuangkan ada di negeri ini?"

Sinopsis di atas adalah salah satu dialog Djo kala membalas komentar berbau ras Alvaro yang selalu berusaha menyudutkannya. Kemudian saya mengira-ngira apakah fokus cerita ini adalah konflik rasial di bumi pertiwi ini ataukah perjuangan Djo dari zero to hero. Kisah masa kecil A Guan di Medan dan persahabatannya dengan Yanto menurut saya adalah chapter paling manis dan menyentuh dari keseluruhan isi novel ini, dan  sesungguhnya dari sinilah kisah  ini bermula. Plot andalan saya adalah ketika Yanto mendapati rumah keluarga Tan sudah tak berpenghuni lagi. Saya pun ikut menitikkan air mata kala Yanto menerima benda berharga peningggalan A Guan yaitu komik dan pedang yang selama ini dikultuskan A Guan, bahkan A Guan sempat menaruh curiga pada Yanto ketika pedang tersebut tiba-tiba “menghilang” dari kamarnya, dan  pembaca juga diarahkan untuk mempercayai jalan pemikiran A Guan, namun pada akhirnya ibu A Guan yang bijak berhasil mengembalikan kepercayaan A Guan kepada Yanto. Kenapa saya berulang kali mengatakan bagian masa kecil A Guan adalah yang paling memorable karena penulis banyak menyisipkan sesuatu yang jarang saya lihat berdampingan di kehidupan nyata, seperti status sosial antara A Guan dan Yanto yang begitu berbeda: A Guan adalah anak keluarga Tan yang kaya sementara Yanto tak lain hanyalah anak pembantu yang mengabdi pada keluarga Tan. Persahabatan lintas ras ini membuat saya memahami bahwa dunia anak benar-benar tak tersentuh oleh segala sekat-sekat perbedaan yang sering membuat dangkal kehidupan orang dewasa. Persahabatan penuh warna-warni jelas saja menjadi poin sangat penting dalam chapter ini, dan saya pikir tiap pembaca akan membuka kembali kenangan bersama sahabat-sahabat masa kecil mereka. So Nice!
Pada tahun 1960-an keluarga Tan terpaksa meninggalkan Medan dan berhijrah ke Jakarta akibat polemik politik yang terjadi di tahun 1965 berimbas pada konflik rasial kaum Tionghoa. Di Jakarta, ayah A guan memutuskan mengganti nama seluruh anggota keluarga menjadi nama-nama pribumi sesuai aturan pemerintah pada saat itu. Pada bagian ini memberi wawasan utuk saya yang seringkali heran pada keturunan Tionghoa namun bernama pribumi.
A Guan yang sudah berganti nama menjadi Djohan melanjutkan sekolah di salah satu SMP katolik. Tak butuh lama Djo beradaptasi. Corby adalah teman pertama yang dikenal A Guan sekaligus memancing bakat dan ide-ide kreatifnya sehingga mereka menjadi penggagas majalah Samanta yang membuat mereka menjadi remaja-remaja populer di sekolah tersebut. Meski saya tertarik dengan persahabatan remaja-remaja ini tetapi di bagian ini saya merasa semua berlangsung begitu cepat, sedikit terganggu dengan dialog-dialog  Djo dan Corby yang terlihat agak dewasa utuk anak semuran mereka.
 A Guan yang bertransformasi menjadi Djo digambarkan telah menyimpan ketertarikannya pada Rinai cewek yang juga berdarah Tionghoa dan bersamaan dengan ini kehadiran tokoh Alvaro mulai membuat konflik rasial itu. Alvaro diplot sebebagai seseorang yang sangat membenci Djo karena cemburu akan kedekatan Rinai dan Djo dan juga sangat jelas Alvaro suka mengkotak-kotakkan orang, bahkan kebenciannya pada Djo itu diwujudkannya dengan teror yang bikin kelimpungan Djo dan teman-temannya.
Djo melanjutkan pendidikannya di Universitas Trisakti dan ia dipertemukan kembali dengan Alvaro di sebuah diskusi yang semakin memanaskan hubungan mereka. Sahabat-sahabat Djo tidak menyukai perangai Alvaro maka mereka menjahili Alvaro. Sebenarnya dari kejadian Alvaro mengawasi Djo secara diam-diam saya mulai curiga akan ada hal-hal membahayakan yang menimpa Djo namun sampai ending hal itu tampaknya tidak terbukti. Sebuah twist juga dihadirkan di ending yaitu Rinai yang memilih menolak Djo karena telah dijodohkan oleh seseorang yang selama ini membiayai hidupnya dan keluarganya. Ini cukup menjawab mengapa Rinai begitu tertutup pada Djo. Djo pun akhirnya dengan berani menolak gadis yang dipilhkan ibunya dan memutuskan akan menikahi wanita non-Tionghoa dengan maksud memutuskan mata rantai konflik rasis yang masih sering dialaminya.
Cerita dalam novel ini begitu menggugah benak saya untuk memahami pemikiran seorang Djo yang betul-betul ingin menjadi manusia Indonesia seutuhnya tanpa harus dicurigai akan membelot hanya karena berbeda kulit dan latar belakang. Keinginan Djo ini terlihat dari kecil hingga duduk di bangku universitas, ia selalu bersahabat dengan orang-orang yang berbeda suku. Namun jujur saja, sebagai pembaca ada beberapa hal yang membuat saya kurang puas karena masih banyak pertanyaan yang tampaknya belum terjawab. Namun saya juga menduga pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab di sekuel-sekuel berikutnya karena perjuangan Djo untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya sepertinya barulah sepenggal.

By Leea Avtari
Kendari, 8 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar