Saya membeli VERSUS Februari silam.
Saya membeli ini sebagai referensi untuk cerita yang akan saya tulis. Novel
karangan Robin Wijaya ini membuat saya sangat terkesan dengan blurb-nya.
Sebelumnya, saya sudah membaca novel Robin Wijaya. Before Us. Bukan favorit
saya. Tapi saya tidak kapok untuk membaca karya Robin. Apalagi, blurb novel
ini sangat menjanjikan. Lalu apakah saya kecewa lagi? Exactly! Saya
kecewa untuk kedua kalinya. Tapi yang kedua sedikit lebih parah. Buku Robin
yang saya baca sebelumnya adalah rekomendasi seorang kawan virtual yang sering
berdiskusi dengan saya seputar penulisan
novel. Dan suatu hari, teman virtual saya yang lain, mengirimi saya
novel Before Us—bersama beberapa novel bagus lainnya—sebagai ungkapan terima kasih karena saya bersedia menjadi first reader novelnya. Tapi kali ini, saya memilih sendiri novel Robin ini. Dengan yakinnya, bahwa ini referensi yang saya butuhkan untuk cerita saya. Meski yaa, sedikit banyak, saya memang menjadikan VERSUS sebagai referensi menulis saya.
novel Before Us—bersama beberapa novel bagus lainnya—sebagai ungkapan terima kasih karena saya bersedia menjadi first reader novelnya. Tapi kali ini, saya memilih sendiri novel Robin ini. Dengan yakinnya, bahwa ini referensi yang saya butuhkan untuk cerita saya. Meski yaa, sedikit banyak, saya memang menjadikan VERSUS sebagai referensi menulis saya.
Dulu, sebelum memiliki
akun Goodreads, saya membeli
buku dengan mengandalkan intuisi terbaik. Karena saya hanya bisa menilai
dari blurb buku untuk menimbang, sebaik apa buku itu
dituliskan, dan seberapa layak ia menyesaki lemari buku kecil saya di
rumah. Beberapa tahun setelahnya, saya tahu--saat mengobrol dengan seorang
penulis--bahwa pembeli buku berhak meminta pegawai toko buku untuk
membuka wrap plastic cover buku lalu melihat kondisi layout
dan isinya sebelum memutuskan untuk membelinya. Dan pihak toko buku
berkewajiban untuk memenuhi permintaan sang calon pembeli. Setelah memiliki
akun Goodreads, saya biasanya
mengobservasi dulu buku yang akan saya beli. Saya bahkan, seringkali
mencari buku yang akan saya beli melalui rekomendasi teman-teman di Goodreads. Lalu saya menemukan VERSUS. Buku ini
memiliki ratting yang bagus meski di-review kurang dari 50 pembaca
dan di-ratting kurang dari 100 pembaca. Seorang penulis skenario
film yang memiliki selera bacaan tinggi memberi 4 bintang untuk buku ini. Dan
pembaca yang lain menyandingkannya dengan Mengejar Matahari. Saya pun mantap
membelinya.
Sebenarnya, buku
memiliki ide yang bagus. Hanya saja, konsepnya kurang matang. Konfliknya
diketengahkan dengan lompatan grafik yang nyaris tidak bergelombang. Saya mulai
mengerutkan kening di 10 halaman pertama. Hingga halaman 50 (dari 400 halaman),
saya masih tidak mengerti, ke mana tokoh Amri akan membawa saya. Saya teringat
cerita-cerita saya ketika pulang sekolah, kepada sepupu saya.
"Dam, tadi saya
lupa buku geografi. Tahu kan, Pak Azis galaknya kayak apa? Anak perempuan saja,
dipukul. Tapi dia nggak mukul saya. Dia hanya nyindir, terus nyuruh saya
pulang. Ya saya pulang. Saya lari. Sampe rumah, saya langsung cari buku
geografi. Tahunya ada di atas meja setrika. Kelupaan tadi pagi. Sudah itu, saya
balik lagi ke sekolah. Lari lagi. Sampe di kelas, napasku mau habis. Lalu
bukunya saya kasih lihat Pak Azis. Pak Azis nurunin kacamatanya ke hidung.
Terus, ngabsen. Terus, saya duduk di bangku. Terus, kita belajar. Terus,
istirahat. Saya ke kantin. Makan sup ayam. Terus, digodain sama senior, karena
katanya saya pacaran sama Rio. Padahal kan, tidak. Terus, kita masuk kelas
lagi. Saya belajar Matematika sama Sejarah. Terus pulang. Terus, sekarang saya
lapar sekali."
Lalu apa? Apa
istimewanya cerita itu? Masalahnya di mana? 890 dari 900 siswa di sekolah saya
hari itu, mengalami hal serupa. 10 yang lainnya, mungkin mengalami drama yang
lebih layak dituliskan dan dibaca khalayak. Cerita saya kurang lebih sama
dengan kisah Amri, dan Chandra. Kecuali Bima. Tapi lagi-lagi, sangat
disayangkan, karena pengolahan kisah Bima berhasil membuat saya move
on dengan cepat sekali. Saya cukup menatap cover The
Hunger Games, dan saya move on tanpa kendala sama sekali.
Dengan sangat
menyesal, buku ini mendapat 2 out of 5 stars. Review
lengkap VERSUS bisa dibaca di
blog buku saya di sini.
A.K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar