Pages

Senin, 17 Maret 2014

Benarkah VERSUS "Another Version of Mengejar Matahari"?


Saya membeli VERSUS Februari silam. Saya membeli ini sebagai referensi untuk cerita yang akan saya tulis. Novel karangan Robin Wijaya ini membuat saya sangat terkesan dengan blurb-nya. Sebelumnya, saya sudah membaca novel Robin Wijaya. Before Us. Bukan favorit saya. Tapi saya tidak kapok untuk membaca karya Robin. Apalagi, blurb novel ini sangat menjanjikan. Lalu apakah saya kecewa lagi? Exactly! Saya kecewa untuk kedua kalinya. Tapi yang kedua sedikit lebih parah. Buku Robin yang saya baca sebelumnya adalah rekomendasi seorang kawan virtual yang sering berdiskusi dengan saya seputar penulisan novel. Dan suatu hari, teman virtual saya yang lain, mengirimi saya
novel Before Us—bersama beberapa novel bagus lainnya—sebagai ungkapan terima kasih karena saya bersedia menjadi first reader novelnya. Tapi kali ini, saya memilih sendiri novel Robin ini. Dengan yakinnya, bahwa ini referensi yang saya butuhkan untuk cerita saya. Meski yaa, sedikit banyak, saya memang menjadikan VERSUS sebagai referensi menulis saya.
Dulu, sebelum memiliki akun Goodreads, saya membeli buku dengan mengandalkan intuisi terbaik. Karena saya hanya bisa menilai dari blurb buku untuk menimbang, sebaik apa buku itu dituliskan, dan seberapa layak ia menyesaki lemari buku kecil saya di rumah. Beberapa tahun setelahnya, saya tahu--saat mengobrol dengan seorang penulis--bahwa pembeli buku berhak meminta pegawai toko buku untuk membuka wrap plastic cover buku lalu melihat kondisi layout dan isinya sebelum memutuskan untuk membelinya. Dan pihak toko buku berkewajiban untuk memenuhi permintaan sang calon pembeli. Setelah memiliki akun Goodreads, saya biasanya mengobservasi dulu buku yang akan saya beli. Saya bahkan, seringkali mencari buku yang akan saya beli melalui rekomendasi teman-teman di Goodreads. Lalu saya menemukan VERSUS. Buku ini memiliki ratting yang bagus meski di-review kurang dari 50 pembaca dan di-ratting kurang dari 100 pembaca. Seorang penulis skenario film yang memiliki selera bacaan tinggi memberi 4 bintang untuk buku ini. Dan pembaca yang lain menyandingkannya dengan Mengejar Matahari. Saya pun mantap membelinya.
Sebenarnya, buku memiliki ide yang bagus. Hanya saja, konsepnya kurang matang. Konfliknya diketengahkan dengan lompatan grafik yang nyaris tidak bergelombang. Saya mulai mengerutkan kening di 10 halaman pertama. Hingga halaman 50 (dari 400 halaman), saya masih tidak mengerti, ke mana tokoh Amri akan membawa saya. Saya teringat cerita-cerita saya ketika pulang sekolah, kepada sepupu saya.
"Dam, tadi saya lupa buku geografi. Tahu kan, Pak Azis galaknya kayak apa? Anak perempuan saja, dipukul. Tapi dia nggak mukul saya. Dia hanya nyindir, terus nyuruh saya pulang. Ya saya pulang. Saya lari. Sampe rumah, saya langsung cari buku geografi. Tahunya ada di atas meja setrika. Kelupaan tadi pagi. Sudah itu, saya balik lagi ke sekolah. Lari lagi. Sampe di kelas, napasku mau habis. Lalu bukunya saya kasih lihat Pak Azis. Pak Azis nurunin kacamatanya ke hidung. Terus, ngabsen. Terus, saya duduk di bangku. Terus, kita belajar. Terus, istirahat. Saya ke kantin. Makan sup ayam. Terus, digodain sama senior, karena katanya saya pacaran sama Rio. Padahal kan, tidak. Terus, kita masuk kelas lagi. Saya belajar Matematika sama Sejarah. Terus pulang. Terus, sekarang saya lapar sekali."
Lalu apa? Apa istimewanya cerita itu? Masalahnya di mana? 890 dari 900 siswa di sekolah saya hari itu, mengalami hal serupa. 10 yang lainnya, mungkin mengalami drama yang lebih layak dituliskan dan dibaca khalayak. Cerita saya kurang lebih sama dengan kisah Amri, dan Chandra. Kecuali Bima. Tapi lagi-lagi, sangat disayangkan, karena pengolahan kisah Bima berhasil membuat saya move on dengan cepat sekali. Saya cukup menatap cover The Hunger Games, dan saya move on tanpa kendala sama sekali.
Dengan sangat menyesal, buku ini mendapat 2 out of 5 stars. Review lengkap VERSUS bisa dibaca di blog buku saya di sini.
 A.K

Tidak ada komentar:

Posting Komentar