Pages

Sabtu, 15 Maret 2014

Perahu Kertas [Seperti Potongan Fragmen yang Disatukan dengan Terburu-Buru]


T.E.L.A.T.B.A.N.G.E.T!
     Iya banget, emang. Nonton Perahu Kertas baru minggu lalu. Itu juga, setelah film itu mengendap (mungkin) berabad-abad lamanya di dalam folder Watching List gue. Bukunya baru dibaca 2011 silam, padahal terbitnya 2008. Keliatan banget ya, kalau gue tipikal pengikut hype trend. Okay, let's just forget 'bout that and spill out my random thought 'bout  this Perahu Kertas.

       
        Bukan salah kita sepenuhnya kalau kita suka ngebandingin sebuah film dari novelnya--ini hanya berlaku untuk novel yang dialih wahana, ya. Meski bahasa verbal dan bahasa visual, konon, punya interpretasi beda, tetep aja, comparing those things each other itu nggak bisa dihindarin.

       Buat gue, Perahu Kertas, yang ditulis dengan bahasa yang renyah (karena emang, genrenya teenlit-young adult. Bias genre banget nggak, sih?), punya ide yang ciammikk. With double "M" and "K". Pernah nggak sih, kepikiran bahwa pertemuan-pertemuan tak terduga dalam hidup, yang kemudian menjadi masa depan kita, adalah hal yang absurd? Absolutely! But that life is! A complement of absurdities. Hidup kita memang hanyalah perpindahan dari satu kemustahilan menuju kemustahilan yang lain. Dan Dewi Lestari, menyampaikan itu melalui Perahu Kertas, dengan cara yang mengagumkan. Novel ini bukan novel yang berat. Hanya saja, pesannya yang filosofis (dalem, kata anak muda jaman sekarang), dikemas dalam penceritaan yang ringan, dalam konflik dengan grafik naik-turun, dengan twist yang hmm ... let me say that it's worth enough to contemplate about. Persis roller coaster. Lo terayun ke udara, terlonjak ke bawah, menyerah pada arus gravitasi dengan beragam sensasi, dan berakhir dengan ... entah seneng entah teler. Maka ketika berita alih wahana novel ini rilis, gue penasaran setengah mati sama filmnya. Terlebih, sama pemain-pemainnya. Tapi cuma penasaran aja. Nggak ada usaha buat datengin bioskop dan jadi penonton yang duduk di depan layar supergede di hari pertama perilisannya.

        God! Is there Reza Rahadian? My most favorit Indonesian actor? Jawabannya, emang iya. Hal itulah yang bikin gue betah di depan laptop cuma buat nuntasi film ini sambil terkantuk-kantuk. Kenapa terkantuk-kantuk? Karena malam sebelumnya, kualitas tidur gue amat sangat jelek sekali. Ditambah lagi, gue kurang bisa menikmati film yang seperti melompat-lompat. Perahu Kertas terasa seperti fragmen-fragmen yang menampilkan Kugy dan Keenan--dengan kehidupan pribadi mereka masing-masing--terus disatuin dengan terburu-buru biar bisa disebut film berdurasi sejam sekian puluh menit. Adegannya seperti ini, lalu meloncat ke sana, lalu ke mana lagi, balik lagi ke sini, yaah ... begitu. Dan keseluruhan fragmen itu tidak menyatu dengan rapi. Entah karena bukunya memuat banyak sekali konflik dan film ini kewalahan merangkum itu semua, atau memang film ini keliru memilih potongan adegan meaningful yang ingin divisualisasi. Gue mikirnya, ini bakal lebih cocok dibuat serial TV. Tapi bukan kayak Bidadari-Bidadari Surga-nya Pak Darwis Tere Liye yang dialihwahana jadi sinetron SCTV itu. Melainkan, Serial TV yang dikemas dengan sinematografi elegan (semifilm) seperti di RCTI (tiap entah kapan  siang itu). Ceritanya berbobot. Dan penggarapannya nggak asal-asalan. Yaah, setaraf drama Korea atau Jepang gitu, lah.

        Anyway, soundtrack Perahu Kertas yang berjudul sama itu, benar-benar khas Dewi Lestari. Puitis sekaligus lugas. 
Kubahagia ... kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada ... di antara ribuan manusia
Dan kubisa dengan radarku ...menemukanmu

       Sekarang, langka banget nemu lagu kayak gitu. Terakhir, lagu-lagu kayak gitu ada di eranya KLA Project (lagu-lagu Katon Bagaskara), Sheila on 7, PADI, dan LETTO (ciptaan Noe).

        Lalu, for the cast, emang dasar, matanya cast director itu dirancang untuk bisa menelanjangi masa depan kayaknya, ya. Si Adipati Dolken, ketika menatap Kugy, di layar kaca, pembaca Perahu Kertas akan langsung merasa, bahwa dia emang seperti yang mereka pikirkan tentang Keenan. Pikiran para Mata Elang itu pasti kurang lebih kayak gitu. Gaya casual Maudy Ayunda yang urakan itu, by the  way, adalah paduan yang pantes banget dengan wajah innocent-nya yang sederhana sekaligsu manis abis. She's the Kugy, indeed. Dan pemeran Remi, what should I tell you about Reza Rahadian? Aktor serba bisa yang selalu berhasil melepaskan karakternya yang berbeda dari setiap film yang dia peranin? He worth for my standing applause and loud scream.



        Jadi, berapa bintang untuk film ini? Three out of Five for Reza Rahadian ^_^




About Me
I love to share anythin' about story-writing, books, dreams (?) :) Just say howdy on my second and third and fourth homes below:
See 'ya there! :)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar