Dari awal melihat cover dari novel
menjadi Djo, dengan layangan merah yang ditarik seorang anak serta temannya
yang lain dengan kulit yang amat eksotis, saya sudah mebayangkan bahwa novel
ini merupakan novel kisah perjuangan anak-anak dalam meraih cita-citanya, atau
mungkin kisah anak-anak yang miskin mencoba mengarungi kesulitan hidupnya,
entahlah. Pada intinya sekilas melihat cover dan judulnya yang terfikir dalam
benak saya hanyalah Perjuangan!
Novel ini dibagi menjadi 3 part. Part
satu awal tahun 1960-an merupakan masa–masa yang amat manis menurut saya.
Kepolosan A Guan keturunan Tionghoa yang berteman dengan Yanto yang merupakan
Pribumi sangat manis digambarkan oleh penulis. Karena pada saat itu Tionghoa dianggap
berbeda dengan Pribumi. Permasalahan Rasisme membuat orang-orang
Tionghoa dianggap berbeda. Kenapa saya mengatakan manis? Karena saat Swan Tiem yang merupakan musuh bebuyutan A Guan di Sekolahan menghina Yanto, bahkan mengatakan:
Tionghoa dianggap berbeda. Kenapa saya mengatakan manis? Karena saat Swan Tiem yang merupakan musuh bebuyutan A Guan di Sekolahan menghina Yanto, bahkan mengatakan:
“Hari ini dia melindungi kamu, tetapi lihat saja nanti, kelak dia bakal menyakiti kamu dari belakang”
A Guan saat itu memercayai kalimat ini,
tepatnya saat insiden pedang kayu hadiah Ko A Beng hilang, A Guan saat itu
hanya terfikr Yantolah yang mengambilnya.hingga hal ini membuat retak
persahabatan mereka. Namun hal ini segera dilalui mereka berkat nasehat Ibu A
Guan
“Apakah Pedang kayu itu lebih penting buat kamu daripada sahabat kamu sendiri? Kira-Kira 5 Tahun dari sekarang, apakah kamu akan sedih karena kehilangan pedang kayu itu, ataukah kehilangan Yanto?"
Namun belum lama persahabatan mereka
terjalin lagi. Insiden PKI yang terjadi di Medan membuat mereka harus meninggalkan Medan dan Hijrah ke
Jakarta, Sudah saya katakan saya sangat menyukai bagaimana penulis menyulam
kepolosan Persahabatan mereka, dan ini dibuktikan saat A Guan menghadiahi
setumpuk komik dan juga Pedang Kayu!
Hijrah ke Jakarta merupakan pembuka
bagi part II tepatnya pada Tahun 1966, enam tahun silam telah terlewati, dibuka
dengan penggantian identitas A Guan
dengan nama Teuku Umar Djohan. Di tahun ini Djohan menjadi anak SMP Pax.
Pada part ini Kreatif dan Kritis. Saya
sangat menyukai bagian ide kreatif Djo yang mengusulkan pembuatan majalah
Samantha bersama Corby sahabat Djo yang amat menyukai menulis dengan tujuan
memberikan wadah bagi Corby untuk mempublikasikan tulisannya juga sebagai wadah
Djo untuk menggambar.
Dari Majalah Samantha pada akhirnya Ia
berkenalan dengan Gina yang merupakan Murid terpopuler SMA Atrada Ricci yang
akhirnya membuat dia mengelola Ricci News di tahun Pertama nya menjadi anak SMA
di SMA Strada Ricci. Permulaan yang amat baik ia lakukan dengan mempublikasikan
tulisannya lewat Ricci News dan diaminkan sejagat anak SMA bahwa tulisannya
merupakan perwakilan aspirasi siswa. Namun hal ini juga lah yang membuat Kepala
Sekolahnya membubarkan dan melarang Ricci News terbit ke depannya.
Pada Part III tahun 1972, dibuka dengan
apik oleh penulis dengan “gadis dari masa lalu” Rinai, Gadis keturunan Tionghoa
namun memiliki kesan misterius bagi Djo, Cinta yang dulunya hadir dengan perkenalannya
sewaktu SMP dulu kini hadir kembali di kehidupan Djo. Namun keberanian Djo
dalam mendekati Rinai sepertinya tidak berujung membawanya mampu meminang gadis
itu. Saya sangat menyukai bagaimana penulis menyisipkan kisah cinta tanpa perlu
beralay ria dalam mengungkapkan perasaan. Sikap Djo dalam menjaga perasaannya
bagi Rinai sangat istimewa tidak mengumbar namun melindungi.
Pada tahun ini pula Djo memulai
kehidupan kuliahnya namun tak sesuai dengan apa yang diimpikannya dan dengan
keahliannya dia lebih memilih jurusan akuntansi dibanding desain grafis karena
banyaknya harapan orangtua digantungkan padanya.
Namun diantara tiga part ini semua,
part yang membuat saya terhenyak adalah bagaimana sakitnya Djo memendam selama
20-an tahun hidupnya karena dia merupakan seorang Tianghoa, bagaimana dia
menelan pil pahit akibat rasisme dan
sukuisme, dan semuanya meledak akibat percikan api perkataan Alvaro.
“Sejak pertama kali nenek moyang lo datang, yang ada di otak kalian cuma duit dan keuntungan. Kalian bekerja sama dengan siapa saja yang menguntungkan kalian : Belanda, bahkan PKI sekalipun, Kalian makan apa saja, menghancurkan apa saja, dan memperlakukan yang lain seperti sampah. Omong kosong! China kayak lo tahu apa soal kepentingan bangsa?”
Dan perkataan inilah yang membuat
segala yang dipendam Djo akhirnya menguap,
”Apa hanya karena lahir di Indonesia, otomatis kita menjadi orang Indonesia? Kalau begitu, bukankah aku berhak disebut sebagai orang Indonesia juga? Tetapi tidak, hanya karena kulit kami yang berbeda, Seumur hidup keberadaan kami akan selalu di pertanyakan. Apakah kami setia? Apakah kami akan membelot? Apakah kami akan menjual negara ini? Ataukah karena hati kita di Indonesia, kita berhak disebut negara Indonesia? Aku tidak pernah mengenal China. Bagiku, negara itu terlalu jauh dan tidak pernah menyumbangkan apa pun kecuali dongeng masa lampau keluargaku. Sepanjang hidupku, aku hanya mengenal satu negara Indonesia. Aku lahir di sini, makan di sini. dan kelak akan mati disini. Aku berdarah ketika Indonesia disakiti. Jiwaku ada disini sebagaimana ragaku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan negeri ini sementara semua yang aku cintai dan perjuangkan ada di negeri ini?”
Beberapa quotes yang amat saya
sukai dari novel ini adalah:
“A Guan, kita memang harus menghindari masalah, tapi terkadang justru masalah yang datang kepada kita, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Pastikan saja kamu tahu mana yang harus kamu pilih.” (page 50)
“Kamu tahu apa kata orang tentang sahabat? “Katanya, di wajah seorang sahabat kita melihat diri kita sendiri. (page 89)
“Sukses adalah pembalasan dendam terbaik”
“Selalu ada pilihan tetapi tidak semua dari kita sanggup menghadapi konsekuensinya”(page 287)
Jannahkey
Kendari, 13 Juli 2014
Kendari, 13 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar