Pages

Senin, 14 Juli 2014

A Reading Story of Menjadi Djo by Jannahkey

Dari awal melihat cover dari novel menjadi Djo, dengan layangan merah yang ditarik seorang anak serta temannya yang lain dengan kulit yang amat eksotis, saya sudah mebayangkan bahwa novel ini merupakan novel kisah perjuangan anak-anak dalam meraih cita-citanya, atau mungkin kisah anak-anak yang miskin mencoba mengarungi kesulitan hidupnya, entahlah. Pada intinya sekilas melihat cover dan judulnya yang terfikir dalam benak saya hanyalah Perjuangan!
Novel ini dibagi menjadi 3 part. Part satu awal tahun 1960-an merupakan masa–masa yang amat manis menurut saya. Kepolosan A Guan keturunan Tionghoa yang berteman dengan Yanto yang merupakan Pribumi sangat manis digambarkan oleh penulis. Karena pada saat itu Tionghoa dianggap berbeda dengan Pribumi. Permasalahan Rasisme membuat orang-orang
Tionghoa dianggap berbeda. Kenapa saya mengatakan manis? Karena saat Swan Tiem yang merupakan musuh bebuyutan A Guan di Sekolahan menghina Yanto, bahkan mengatakan:
“Hari ini dia melindungi kamu, tetapi lihat saja nanti, kelak dia bakal menyakiti kamu dari belakang”

A Guan saat itu memercayai kalimat ini, tepatnya saat insiden pedang kayu hadiah Ko A Beng hilang, A Guan saat itu hanya terfikr Yantolah yang mengambilnya.hingga hal ini membuat retak persahabatan mereka. Namun hal ini segera dilalui mereka berkat nasehat Ibu A Guan
“Apakah Pedang kayu itu lebih penting buat kamu daripada sahabat kamu sendiri? Kira-Kira 5 Tahun dari sekarang, apakah kamu akan sedih karena kehilangan pedang kayu itu, ataukah kehilangan Yanto?"

Namun belum lama persahabatan mereka terjalin lagi. Insiden PKI yang terjadi di Medan membuat mereka  harus meninggalkan Medan dan Hijrah ke Jakarta, Sudah saya katakan saya sangat menyukai bagaimana penulis menyulam kepolosan Persahabatan mereka, dan ini dibuktikan saat A Guan menghadiahi setumpuk komik dan juga Pedang Kayu!
Hijrah ke Jakarta merupakan pembuka bagi part II tepatnya pada Tahun 1966, enam tahun silam telah terlewati, dibuka dengan penggantian identitas A Guan  dengan nama Teuku Umar Djohan. Di tahun ini Djohan menjadi anak SMP Pax. Pada part ini Kreatif dan Kritis.  Saya sangat menyukai bagian ide kreatif Djo yang mengusulkan pembuatan majalah Samantha bersama Corby sahabat Djo yang amat menyukai menulis dengan tujuan memberikan wadah bagi Corby untuk mempublikasikan tulisannya juga sebagai wadah Djo untuk menggambar.
Dari Majalah Samantha pada akhirnya Ia berkenalan dengan Gina yang merupakan Murid terpopuler SMA Atrada Ricci yang akhirnya membuat dia mengelola Ricci News di tahun Pertama nya menjadi anak SMA di SMA Strada Ricci. Permulaan yang amat baik ia lakukan dengan mempublikasikan tulisannya lewat Ricci News dan diaminkan sejagat anak SMA bahwa tulisannya merupakan perwakilan aspirasi siswa. Namun hal ini juga lah yang membuat Kepala Sekolahnya membubarkan dan melarang Ricci News terbit ke depannya.
Pada Part III tahun 1972, dibuka dengan apik oleh penulis dengan “gadis dari masa lalu” Rinai, Gadis keturunan Tionghoa namun memiliki kesan misterius bagi Djo, Cinta yang dulunya hadir dengan perkenalannya sewaktu SMP dulu kini hadir kembali di kehidupan Djo. Namun keberanian Djo dalam mendekati Rinai sepertinya tidak berujung membawanya mampu meminang gadis itu. Saya sangat menyukai bagaimana penulis menyisipkan kisah cinta tanpa perlu beralay ria dalam mengungkapkan perasaan. Sikap Djo dalam menjaga perasaannya bagi Rinai sangat istimewa tidak mengumbar namun melindungi.
Pada tahun ini pula Djo memulai kehidupan kuliahnya namun tak sesuai dengan apa yang diimpikannya dan dengan keahliannya dia lebih memilih jurusan akuntansi dibanding desain grafis karena banyaknya harapan orangtua digantungkan padanya.
Namun diantara tiga part ini semua, part yang membuat saya terhenyak adalah bagaimana sakitnya Djo memendam selama 20-an tahun hidupnya karena dia merupakan seorang Tianghoa, bagaimana dia menelan pil pahit akibat  rasisme dan sukuisme, dan semuanya meledak akibat percikan api perkataan Alvaro.
“Sejak pertama kali nenek moyang lo datang, yang ada di otak kalian cuma duit dan keuntungan. Kalian bekerja sama dengan siapa saja yang menguntungkan kalian : Belanda, bahkan PKI sekalipun, Kalian makan apa saja, menghancurkan apa saja, dan memperlakukan yang lain seperti sampah. Omong kosong! China kayak lo tahu apa soal kepentingan bangsa?”

Dan perkataan inilah yang membuat segala yang dipendam Djo akhirnya menguap,
”Apa hanya karena lahir di Indonesia, otomatis kita menjadi orang Indonesia? Kalau begitu, bukankah aku berhak disebut sebagai orang Indonesia juga? Tetapi tidak, hanya karena kulit kami yang berbeda, Seumur hidup keberadaan kami akan selalu di pertanyakan. Apakah kami setia? Apakah kami  akan membelot? Apakah kami akan menjual negara ini? Ataukah karena hati kita di Indonesia, kita berhak disebut negara Indonesia? Aku tidak pernah mengenal China. Bagiku, negara itu terlalu jauh dan tidak pernah menyumbangkan apa pun kecuali dongeng masa lampau keluargaku. Sepanjang hidupku, aku hanya mengenal satu negara Indonesia. Aku lahir di sini, makan di sini. dan kelak akan mati disini. Aku berdarah ketika Indonesia disakiti. Jiwaku ada disini sebagaimana ragaku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan negeri ini sementara semua yang aku cintai dan perjuangkan ada di negeri ini?”

Beberapa quotes yang amat saya sukai dari novel ini adalah:
“A Guan, kita memang harus menghindari masalah, tapi terkadang justru masalah yang datang kepada kita, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Pastikan saja kamu tahu mana yang harus kamu pilih.” (page 50)  
“Kamu tahu apa kata orang tentang sahabat? “Katanya, di wajah seorang sahabat kita melihat diri kita sendiri. (page 89)
“Sukses adalah pembalasan dendam terbaik” 
“Selalu ada pilihan tetapi tidak semua dari kita sanggup menghadapi konsekuensinya”(page 287)

Jannahkey
Kendari, 13 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar