Pages

Minggu, 22 November 2015

Petualangan Gading-Kingkin & Kenangan Padi


Jumlah halaman: 190 halaman
Penulis: Henny Alifah
Penyunting: Mastris Radyamas
Tahun terbit: Februari 2015
Penerbit: Indiva Media Kreasi
ISBN13: 9786021614488
Penghargaan: Pemenang pertama Lomba Menulis Novel Inspiratif Indiva 2014

“Gadis itu benar, Bos. Isinya cuma buku!
“Karung yang ini juga cuma buku!”
Pria utama kecewa dengan kata-kata anak buahnya. Dia berharap lebih dari karung-karung tersebut. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat mangsa empuk untuk menyambung hidupnya. Apakah ini saatnya dia berganti profesi?
"Ya, sudah. Tak apa. Kita jual buku-buku itu!”
“Buku ini tidak dijual!” teriak Kingkin.
Tepat saat Kingkin meneriakkan kata-kata itu, sebuah cahaya muncul dari arah belakangnya. Pandangan mereka semua jadi silau.

Tanpa tahu rahasia besar yang tersembunyi di dalam buku-buku Padi, Kakek meminta Gading, putra Padi, untuk menjualnya kepada tukang loak. Beberapa saat setelah tukang loak membawa buku-buku Padi, datanglah Padi yang tak tahu menahu mengenai nasib buku-buku kesayangannya. Setelah menyadari bahwa ia telah kehilangan buku-bukunya, Padi lantas meminta Gading untuk menemukan buku-bukunya dan membawanya kembali ke rumah mereka. 
Padi sudah mengumpulkan buku itu selama bertahun-tahun, dan ia sudah menganggapnya sebagai harta karunnya yang termahal. Sedang bagi Kakek, buku-buku (yang sudah lama tidak tersentuh dan dibaca) itu tidak lebih dari sekadar barang bekas yang bisa ditukar dengan biaya hidup sebulan. Gading tidak begitu heran melihat pertengkaran ayah dan kakeknya karena buku-buku itu. Tapi Gading tidak habis pikir, mengapa ayahnya sampai menangis saat kehilangan buku-bukunya. Ia sendiri baru melihat ayahnya menangis dua kali di sepanjang hidupnya. Pertama, ketika ibunya meninggal. Dan kedua, hari itu: ketika Padi tidak menemukan buku-bukunya lagi di rumah mereka.
“Tidak pernah ada buku yang menjadi bekas. Dia akan selamanya menjadi buku yang dapat dibaca oleh siapa pun” (Padi kepada Kakek: hal. 21).
Dibantu oleh saudari sepupunya, Kingkin, Padi menualangi satu hari terpanjang dalam hidupnya demi membawa pulang buku-buku Padi. Jejak demi jejak mereka telusuri untuk menemukan lima karung buku-buku milik Padi yang terpencar-pencar ke beberapa tempat. Bertaruh nyawa dan menghadapi perampok pun ditanggung Gading dan Kingkin demi buku-buku yang tidak akan pernah ingin dijual Padi itu.
Dengan judul buku yang sangat menarik perhatian dan predikatnya sebagai pemenang pertama lomba menulis novel inspiratif 2014 yang dihelat penerbit Indiva, Buku Ini Tidak Dijual adalah buku yang akan menggugah rasa penasaran penikmat buku mana pun.
Buku Ini Tidak Dijual adalah cerita yang ringan. Ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna—sehingga tidak membuat kening mengkerut—dan rapi serta efektif. Deskripsi latar dan narasinya mengingatkan saya pada buku-buku yang saya baca di masa kecil. Penuturannya yang santun dan lembut, membuat cerita terasa nyaman untuk diikuti hingga akhir.
Rentang waktu berlangsungnya cerita sangat singkat, hanya sehari saja. Tapi penulis banyak bermain dengan lakon dan dialog tokoh sehingga rentang waktu yang singkat itu terisi. Sayangnya, banyak adegan biasa yang diselipkan penulis di dalamnya, sehingga plotnya terasa renggang. Mungkin karena saya selalu menantikan muatan-muatan penting di setiap segmennya. Di beberapa bagian, ada dialog yang terasa kaku dan tidak natural. Tetapi itu tertutupi dengan porsi dialog-dialog berbahasa Jawa yang membuat cerita tersampaikan dengan wajar dan settingnya menjadi lebih kuat.
Karakter-karakter yang dihadirkan Buku Ini Tidak Dijual ini terasa dekat dengan kita. Seperti orang-orang yang kita temui sehari-hari. Menyimak mereka berdialog, rasanya seperti berbincang dengan tetangga sebelah rumah. Saya menyukai karakter-karakternya yang hitam dan putih. Padi yang mencintai buku tapi tetap punya sisi tidak bijaksana. Kakek yang tampak egois tapi penuh perhatian. Gading yang tampak penurut tapi nyatanya menyembunyikan noda-noda hitam dalam hatinya. Kingkin yang solider tapi lantas bisa lalai dalam amanah. Sisi lain dari karakter-karakter ini perlahan terbuka seiring cerita bergulir. Rasanya seperti menonton drama keluarga di masa kecil saya. Lalu karakter-karakter pendampingnya hadir dengan fungsi yang proporsional. Tidak ada yang hadir dengan sia-sia. Keterhubungan antartokohnya pun mampu saling mengisi kontras di antara mereka. Yang paling saya sukai adalah pertemuan Gading dan Doni, serta obrolan yang terjadi di antara keduanya.
“Buku memang benda mati. Tetapi, dia dapat menghidupkan jiwa yang kering” (Doni kepada Gading: hal. 149).
“Ambil saja satu buku, buka dan baca! Aku tidak menyuruhmu mengambil buku terbaik. Semuanya baik asal kamu dapat mengambil sisi baiknya. Bahkan buku yang buruk terkadang juga mengandung kebaikan meskipun sedikit” (Doni kepada Gading: hal. 155).
Sayangnya, entah mengapa, saya merasa konfliknya terselesaikan dengan daya kejut yang tidak mampu memuaskan rasa penasaran saya. Ada bagian yang terasa hilang yang saya kira, perlu diisi untuk membuat cerita ini menjadi lebih bertenaga.
Bagaimanapun juga, saya sangat menghargai upaya kritik yang coba disisipkan penulis di sela-sela ceritanya: tentang politik, kemanusiaan, iman, dan tentu saja, buku! Meski tidak sepenuhnya mulus, tapi hal-hal itu tersampaikan dengan hangat dan menenangkan, sehingga saya tidak menolak nilai-nilai itu meski jika seseorang berkata, “Oh, malangnya, kau baru saja didikte!”.
Ada satu hal yang mengganggu saya, bahkan berhari-hari setelah buku ini saya tutup dan beralih membaca buku yang lain, yakni obsesi Padi akan kenangannya. Tidakkah akan lebih baik jika Padi merelakan buku-buku tuanya untuk anak-anak sekolah yang tidak memiliki fasilitas perpustakaan sekolah yang memadai? Tidakkah itu akan jauh lebih bermanfaat ketimbang Padi menjadikannya kotak Pandora bagi kenangan-kenangannya? Dia bisa menyimpan buku-buku yang penting dan bernilai  untuk hari tuanya, dan melepas buku-buku pelajaran SD-nya untuk anak-anak sekolah swasta yang malang yang ditemui Gading dan Kingkin?
Pada akhirnya, Buku Ini Tidak Dijual adalah harapan para penikmat buku tentang buku-buku dengan nilai manfaat lebih tapi dikemas dengan ringan dan mudah dicerna, untuk hadir menyemarakkan dunia literasi dan meramaikan tren buku tanah air. Jenis buku yang dapat dikonsumsi segala khalayak dan mampu menyentuh semua kalangan.
Secara pribadi, saya akan selalu menyambut baik buku-buku yang bercerita tentang buku, kecintaan akan buku dan membaca. Karena tampaknya, membaca buku bukan sekadar upaya memuaskan kesenangan estetika semata, atau mengairi jiwa yang kering seperti yang dikatakan Doni. Lebih dari itu, membaca adalah, seperti yang dikatakan Padi di awal cerita:
“Wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca,” Padi melanjutkan jawabannya sambil terus memegangi bukunya erat-erat. “Iqra’! jibril bahkan harus mengulangi perintah ini hingga tiga kali. Baru kemudian Muhammad dengan jujur mengatakan bahwa dirinya tidak bisa membaca. Maka, Jibril menuntun Muhammad untuk mengikuti ucapannya. Lalu, bagaimana mungkin saya tidak memuliakan aktivitas membaca? Tuhan yang memerintahkannya” (Padi: hal. 7).
Membaca adalah perintah Tuhan. [NM]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar