Judul buku: Buku Ini Tidak Dijual
Jumlah halaman: 190
halaman
Penulis: Henny Alifah
Penyunting: Mastris
Radyamas
Tahun terbit: Februari 2015
Penerbit: Indiva Media
Kreasi
ISBN13: 9786021614488
Penghargaan: Pemenang pertama Lomba Menulis
Novel Inspiratif Indiva 2014
“Gadis itu benar, Bos. Isinya cuma buku!“Karung yang ini juga cuma buku!”Pria utama kecewa dengan kata-kata anak buahnya. Dia berharap lebih dari karung-karung tersebut. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat mangsa empuk untuk menyambung hidupnya. Apakah ini saatnya dia berganti profesi?"Ya, sudah. Tak apa. Kita jual buku-buku itu!”“Buku ini tidak dijual!” teriak Kingkin.
Tepat saat Kingkin meneriakkan kata-kata itu, sebuah cahaya muncul dari arah belakangnya. Pandangan mereka semua jadi silau.
Tanpa tahu
rahasia besar yang tersembunyi di dalam buku-buku Padi, Kakek meminta Gading,
putra Padi, untuk menjualnya kepada tukang loak. Beberapa saat setelah tukang
loak membawa buku-buku Padi, datanglah Padi yang tak tahu menahu mengenai nasib
buku-buku kesayangannya. Setelah menyadari bahwa ia telah kehilangan
buku-bukunya, Padi lantas meminta Gading untuk menemukan buku-bukunya dan
membawanya kembali ke rumah mereka.
Padi sudah mengumpulkan buku
itu selama bertahun-tahun, dan ia sudah menganggapnya sebagai harta karunnya
yang termahal. Sedang bagi Kakek, buku-buku (yang sudah lama tidak tersentuh
dan dibaca) itu tidak lebih dari sekadar barang bekas yang bisa ditukar dengan biaya hidup sebulan. Gading tidak begitu
heran melihat pertengkaran ayah dan kakeknya karena buku-buku itu. Tapi Gading
tidak habis pikir, mengapa ayahnya sampai menangis saat kehilangan buku-bukunya.
Ia sendiri baru melihat ayahnya menangis dua kali di sepanjang hidupnya. Pertama,
ketika ibunya meninggal. Dan kedua, hari itu: ketika Padi tidak menemukan
buku-bukunya lagi di rumah mereka.
“Tidak pernah ada buku yang menjadi bekas. Dia akan selamanya menjadi
buku yang dapat dibaca oleh siapa pun” (Padi kepada Kakek: hal. 21).
Dibantu
oleh saudari sepupunya, Kingkin, Padi menualangi satu hari terpanjang dalam
hidupnya demi membawa pulang buku-buku Padi. Jejak demi jejak mereka telusuri
untuk menemukan lima karung buku-buku milik Padi yang terpencar-pencar ke
beberapa tempat. Bertaruh nyawa dan menghadapi perampok pun ditanggung Gading
dan Kingkin demi buku-buku yang tidak akan pernah ingin dijual Padi itu.
Dengan judul
buku yang sangat menarik perhatian dan predikatnya sebagai pemenang pertama
lomba menulis novel inspiratif 2014 yang dihelat penerbit Indiva, Buku Ini Tidak Dijual adalah buku yang akan menggugah rasa penasaran penikmat
buku mana pun.
Buku Ini Tidak Dijual adalah cerita
yang ringan. Ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna—sehingga tidak membuat
kening mengkerut—dan rapi serta efektif. Deskripsi latar dan narasinya
mengingatkan saya pada buku-buku yang saya baca di masa kecil. Penuturannya yang
santun dan lembut, membuat cerita terasa nyaman untuk diikuti hingga akhir.
Rentang
waktu berlangsungnya cerita sangat singkat, hanya sehari saja. Tapi penulis
banyak bermain dengan lakon dan
dialog tokoh sehingga rentang waktu yang singkat itu terisi. Sayangnya, banyak adegan biasa yang diselipkan penulis di
dalamnya, sehingga plotnya terasa renggang. Mungkin karena saya selalu menantikan
muatan-muatan penting di setiap segmennya. Di beberapa bagian, ada dialog yang terasa
kaku dan tidak natural. Tetapi itu tertutupi dengan porsi dialog-dialog
berbahasa Jawa yang membuat cerita tersampaikan dengan wajar dan settingnya
menjadi lebih kuat.
Karakter-karakter yang
dihadirkan Buku Ini Tidak Dijual ini
terasa dekat dengan kita. Seperti orang-orang yang kita temui sehari-hari. Menyimak
mereka berdialog, rasanya seperti berbincang dengan tetangga sebelah rumah. Saya
menyukai karakter-karakternya yang hitam
dan putih. Padi yang mencintai buku tapi tetap punya sisi tidak bijaksana. Kakek
yang tampak egois tapi penuh perhatian. Gading yang tampak penurut tapi
nyatanya menyembunyikan noda-noda hitam dalam hatinya. Kingkin yang solider
tapi lantas bisa lalai dalam amanah. Sisi lain dari karakter-karakter ini
perlahan terbuka seiring cerita bergulir. Rasanya seperti menonton drama
keluarga di masa kecil saya. Lalu karakter-karakter pendampingnya hadir dengan
fungsi yang proporsional. Tidak ada yang hadir dengan sia-sia. Keterhubungan antartokohnya
pun mampu saling mengisi kontras di antara mereka. Yang paling saya sukai
adalah pertemuan Gading dan Doni, serta obrolan yang terjadi di antara
keduanya.
“Buku memang benda mati. Tetapi, dia dapat
menghidupkan jiwa yang kering” (Doni kepada Gading: hal. 149).
“Ambil saja satu buku, buka dan baca! Aku tidak menyuruhmu mengambil
buku terbaik. Semuanya baik asal kamu dapat mengambil sisi baiknya. Bahkan buku
yang buruk terkadang juga mengandung kebaikan meskipun sedikit” (Doni kepada
Gading: hal. 155).
Sayangnya,
entah mengapa, saya merasa konfliknya terselesaikan dengan daya kejut yang tidak mampu memuaskan rasa penasaran saya. Ada bagian
yang terasa hilang yang saya kira, perlu
diisi untuk membuat cerita ini menjadi lebih bertenaga.
Bagaimanapun
juga, saya sangat menghargai upaya kritik yang coba disisipkan penulis di
sela-sela ceritanya: tentang politik, kemanusiaan, iman, dan tentu saja, buku! Meski
tidak sepenuhnya mulus, tapi hal-hal itu tersampaikan dengan hangat dan
menenangkan, sehingga saya tidak menolak nilai-nilai
itu meski jika seseorang berkata, “Oh, malangnya, kau baru saja didikte!”.
Ada satu
hal yang mengganggu saya, bahkan berhari-hari setelah buku ini saya tutup dan
beralih membaca buku yang lain, yakni obsesi Padi akan kenangannya. Tidakkah akan
lebih baik jika Padi merelakan buku-buku tuanya untuk anak-anak sekolah yang
tidak memiliki fasilitas perpustakaan sekolah yang memadai? Tidakkah itu akan
jauh lebih bermanfaat ketimbang Padi menjadikannya kotak Pandora bagi
kenangan-kenangannya? Dia bisa menyimpan buku-buku yang penting dan bernilai untuk hari tuanya, dan melepas buku-buku
pelajaran SD-nya untuk anak-anak sekolah swasta yang malang yang ditemui Gading
dan Kingkin?
Pada akhirnya,
Buku Ini Tidak Dijual adalah harapan
para penikmat buku tentang buku-buku dengan nilai
manfaat lebih tapi dikemas dengan ringan dan mudah dicerna, untuk hadir
menyemarakkan dunia literasi dan meramaikan tren buku tanah air. Jenis buku
yang dapat dikonsumsi segala khalayak dan mampu menyentuh semua kalangan.
Secara pribadi, saya akan selalu
menyambut baik buku-buku yang bercerita tentang buku, kecintaan akan buku dan
membaca. Karena tampaknya, membaca buku bukan sekadar upaya memuaskan
kesenangan estetika semata, atau mengairi
jiwa yang kering seperti yang dikatakan Doni. Lebih dari itu, membaca
adalah, seperti yang dikatakan Padi di awal cerita:
““Wahyu yang pertama kali turun adalah
perintah untuk membaca,” Padi melanjutkan jawabannya sambil terus memegangi
bukunya erat-erat. “Iqra’! jibril bahkan harus mengulangi perintah ini hingga
tiga kali. Baru kemudian Muhammad dengan jujur mengatakan bahwa dirinya tidak
bisa membaca. Maka, Jibril menuntun Muhammad untuk mengikuti ucapannya. Lalu,
bagaimana mungkin saya tidak memuliakan aktivitas membaca? Tuhan yang memerintahkannya”” (Padi: hal. 7).
Membaca
adalah perintah Tuhan. [NM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar